45, Gadis Yang Tabah

148 51 20
                                    

MESKI enggan, Non tetap mengikuti saja langkah Tristan. Kembali dia berada di kamar Tristan. Kali ini dia membuka walk in closet untuk menunjukkan isinya pada Non.

"Ini, kalau isinya gue jual-jualin, ketutup banget tuh alarm yang semalem si Bang Ian omelin."

Non hanya melirik sekilas.

"Sayang gue nggak ada barang yang bisa lu pakai. Barang cowok semua. Tapi kalau ada yang lu mau, ambil aja."

Lalu dia membanting pintu menutup kemudian berjalan ke arah balkon. Dia hanya memandang ke luar dari balik kaca besar saja. Ada papanya di bawah sana.

"Gue cuma mau tinggal di rumah itu, Non." Tiba-tiba dia berujar sambil membalik tubuhnya melihat ke arah Non. Dia bersandar di dinding kaca, membelakangi sosok ayahnya yang tentu tidak melihat dia.

Suara pintu menjeblak terbuka membuat perhatian mereka teralihkan.

"Bang Tis...." Suara renyah Trisha terdengar mengisi ruang. Gadis kecil itu berlari melintasi ruang menyerbu ke pelukan Tristan yang menyambutnya dengan berlutut di sebelah kaki.

Gadis kecil ini, kadang membuat marahnya mereda. Namun sering juga dia menjadi muasal emosinya. Ketika dia sedang baik-baik saja lalu melihat adiknya mengkerut karena orangtua mereka, emosinya akan tersulut.

"Teteh...." Trisha melepas pelukannya lalu berlari ke arah Non. Membuat Non tersenyum lebar menyambut pelukannya. "Teh. Adek ada PR. Bantuin ya." Dia langsung menarik Non ke luar kamar meninggalkan Tristan yang langsung membanting tubuhnya telentang di ranjang.

Kadang dia merindukan kenyamanan kamar ini. Tentu saja semua hal di sini berbanding terbalik dengan di kos dan di rumah panggung. Dia sudah memilih untuk mecari kenyamanan batin dan meninggalkan kenyamanan fisik. Memejamkan mata, membiarkan Trisha bersama Non, dia merasa mengantuk.

Di kamar Trisha, Non membantu Trisha mengerjakan tugas sekolah ditemani Bu Darmi. Ini kali pertama Non berada di kamar Trisha. Kamar impian gadis kecil. Non berusaha mencuri pandang ke sekeliling kamar ini.

"Teh, kata Bang Tis rumah di sana sudah bisa ditempatin ya?" tanya Trisha tiba-tiba menghentikan lamunannya.

"Iya." Non tersenyum membayangkan rumah mereka. "Baru semalam kita bobo di sana."

"Trisha kapan bisa ke sana?"

"Nanti kalau Adek libur lagi ya. Tapi di sana belum jadi banget. Masih jelek." Apalagi jika dibandingkan rumah ini. Apalah kamarnya di sana dibandingkan kamar ini.

"Adek kangen, Teh. Mau main sama Bang Dadang dan Sondesip."

"Iya. Nanti ke sana ya."

"Sekarang aja, Teh. Kan masih pagi, Adek ke asramanya kan sore." Dia langsung berdiri menarik tangan Non ke luar kamar. "Ayo ke Bang Tis."

Namun langkah keduanya terhenti ketika mereka berpapasan dengan seorang wanita sangat cantik yang terkejut menatap Non.

"Siapa kamu?" tanyanya sambil tatapannya tidak berhenti menjalari tubuh Non.

"Eh..." Tergagap.

Trisha langsung bersembunyi di balik punggung Non.

"Temannya Den Tristan, Bu." Bu Darmi yang baru keluar kamar menjawab.

Jawaban yang membuat wanita itu mencebik.

"Berani sekali anak itu bawa masuk cewek nggak jelas ke sini." Dia makin serius menatap Non. "Gimana caranya kamu bisa deketin anak saya? Dia nggak pernah bawa teman ke sini apalagi cewek."

"Saya—"

"Kamu anak mana sih? Lusuh amat. Gembel gini. Kamu cari apa dari anak saya? Uang?"

Non merasa berada di dunia lain. Baru saja Tristan membuka walk in closet-nya, membebaskan dia mengambil barang yang dia mau tapi dia abaikan lalu sekarang ibu lelaki itu mengatakan hal yang menjadi critical point-nya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang