86, Doa Ibu

174 49 34
                                    

"KELUARA pasien Batara Tristan?" tanyanya yang dijawab anggukan cepat semua mereka. Dia melepas masker yang menutupi wajahnya.

Wajahnya sekarang utuh terlihat. Dan tatapan matanya...

Menyala memancarkan cahaya hidup dan kelegaan.

"Operasi insyaAllah berhasil. Atas izin-Nya kami berhasil menghentikan perdarahan. Kondisi pasien sekarang stabil. Tapi tentu masih harus kami pantau intensif untuk menghindari komplikasi pasca operrasi. Mohon terus berdoa semoga mukjizat ini terus bertahan. Keluarga silakan menunggu, nanti pasien bisa dijenguk di jam berkunjung ICU. Cuma bisa dilihat saja ya. Belum bisa bertemu langsung."

Dokter itu hanya tersenyum melihat mereka semua menangis bahagia berpelukan. Tak putus ucapan syukur dan terima kasih. Pun ketika pembawa kabar itu kembali hilang di balik pintu mereka masih terus mengucapkan terima kasih.

Non merasa tulang belulangnya hilang. Lagi-lagi dia merosot, bersimpuh, dan langsung bersujud. Bahunya bergetar hebat untuk kesempatan tetap bersama Tristan di alam yang sama. Semua pun sama. Mendadak tubuh-tubuh itu begitu lemah dan mereka butuh sandaran untuk tetap berdiri.

"Kapan Tristan dipindahin ke ICU?" tanya Nana.

"Nggak tau kapannya. Mudah-mudahan jam besuk sore sudah bisa dijenguk." Dee menjawab. Sejak tadi dua gadis itu berduaan saja.

"Apa kita bisa lihat pas dia dipindahin?"

"Kemungkinan nggak. Mereka lewat pintu tembus khusus dari ruang operasi ke ruang ICU. Risiko infeksi kuman kalau sempat ketemu kita."

"Kan cuma lihat aja pas dipindahin. Masa langsung nularin sih?" Nana menggerutu.

"Woy, Tristan lagi rentan banget. Semalam tempur lawan gerombolan penculik, barusan tempur sama lancet. Semua bikin badannya lemah. Jangan dikasih kerjaan lagi tempur sama kuman. Sudah sih, sabar aja sebentar. Tadi kan dibilangin nanti bisa dijenguk di ICU. Sabar."

"Iye iye iye. Yang mantan pasien ICU. Tau deh urusan gituan."

"Waktu jadi pasien mana gue sadar diapain."

Mereka terus ribut meski konteksnya semakin absurd. Namun keributan itu sebuah pertanda baik. Mereka sudah lebih tenang dan bisa menghibur diri.

Jam kunjung ICU tentu beda dengan kamar perawatan. Lebih singkat dan pengunjung pun sangat dibatasi. Namun mereka menerima itu semua dengan sangat bersyukur.

***

Entah apa yang mengganggu lelapnya. Kesadaran datang perlahan ketika dia berusaha membuka mata. Dengan kesadaran sesedikit itu, dia merasa tubuhnya belum menyatu dengan jiwanya. Tubuhnya begitu lemah, bahkan membuka mata saja dia butuh mengerahkan semua tenaga. Dan ketika mata itu berhasil terbuka, yang dia lihat adalah warna putih bersih. Lalu dia menyadari ada suara bip bip bib teratur.

Tristan berusaha mengumpulkan semua kepingan memorinya. Namun mengingat pun terasa sulit. Kepalanya begitu berkabut. Tubuhnya masih begitu lemah. Memejamkan mata, dia ingin kembali tidur tapi bunyi pintu terbuka membuat matanya kembali bergerak berusaha membuka.

Sebuah wajah tertutup masker menyambut penglihatannya. Mata itu tersenyum.

"Halo, apa kabar, Mas?"

Tristan tidak bisa menjawab, tenggorokannya begitu kering. Dia hanya bisa berkedip dan berusaha mengangguk.

"Alhamdulillah, bagus semua, Mas. Semoga cepat sembuh ya. Sudah ditungguin tuh di luar. Semangat ya, Mas." Dia terus berbicara lembut sambil terus bekerja memeriksa dan mencatat ini itu.

Meski masih kacau dan sulit mencerna ucapan itu, tapi Tristan berusaha menjawab walau hanya dengan anggukan lemah.

"Istirahat aja, Mas. Nanti jam besuk sudah boleh dijenguk."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang