49, Tahu Diri

160 44 34
                                    

LEPAS membersihkan tubuh Tristan langsung membanting tubuh ke ranjang. Dia begitu lelah. Kamar sudah gelap tanpa cahaya lampu sama sekali. Hanya temaram dari luar dan langit yang malam ini cukup cerah. Tatapannya beralih dari plafond ke langit melalui lubang angin. Mengembuskan napas berat, dia menyugar rambut dan tangannya berakhir di tengkuk untuk menyangga kepala. Tanpa bisa dia cegah, penggalan cerita di siang yang terik hadir lebih menyengat dari panasnya matahari siang tadi.

Apa ini?

Dia memang nyaris tidak pernah dekat dengan gadis lain. Dee dan Nana tidak dia anggap. Mereka hanya kebetulan hadir bergabung dengan Seto dan Dewa. Apalagi Rey. Gadis manja seperti Rey tidak pernah ada di wist list-nya. Gadis itu.... tidak ada yang bisa dia kerjakan selain merajuk. Memang hanya cocok dijadikan adik yang bisa dimaini saja. Seperti Trisha.

Entah apa yang Fabian lihat sampai lelaki itu bertekuk lutut pada Rey. Memang sekarang Rey terlihat lebih dewasa. Sudah bisa meletakkan dirinya sebagai istri Fabian yang seorang dosen. Sudah beberapa kali Tristan angkat topi ketika Rey berhasil menjinakkan Fabian dan menyesaikan masalah mereka. Rey sudah jauh lebih dewasa. Tapi itu saja. Kedekatannya dengan Rey tidak dia anggap dekat dengan gadis. Namun berkat Rey dia mengenal Fabian lebih dekat, mengenal rumah dan penghuninya. Termasuk satu gadis yang sangat bertolak belakang dari Rey.

Gadis yang sekarang mengganggu waktu tidurnya.

Kenapa bisa terganggu?

Bayangan Non yang tergelak lepas dengan Bimo. Itu yang mengganggunya. Dia memang tidak pernah dekat dengan gadis lain, kemampuan otaknya pun agak berkurang hadiah dari kesalahan masa lalunya mencandu barang haram. Tapi, di atas semua itu, dia tahu rasa apa yang dia rasa sekarang.

Cemburu.

Tidak perlu menjadi jenius dan tidak perlu pengalaman bertahun-tahun berhubungan dengan gadis untuk tahu tentang rasa itu.

Dan kenapa rasa itu bisa sampai ada? Sekarang. Tanpa sebelumnya dia rasa ada. Benarkah? Atau rasa itu sudah ada tapi dia tekan sejauh mungkin? Apa dia selalu berusaha menghilangkan rasa apa pun yang berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin?

Pikirannya makin penuh, hatinya makin berantakan.

Dengung suara kipas tidak mengganggu lamunannya. Namun suara itu menjelaskan di mana sekarang dia berada. Di sebuah kamar kos sederhana. Sesederhana yang bisa tubuhnya terima. Tubuh yang terbiasa menerima kenyamanan rumah orangtuanya.

Siapa dia sekarang?

Hanya pemuda dengan masa depan suram. Terikat tanggung jawab pada seorang adik. Dia seperti duda satu anak. Menerima dia berarti harus menerima kehadiran Trisha. Dan kehadiran Trisha berarti pengeluaran lebih. Pengeluaran yang saat ini harus membunuh egonya karena tangannya tidak mampu menutupi aib itu.

Siapa dia sekarang?

Sampai di situ saja, rasa apa pun yang tumbuh yang berhubungan dengan perbedaan kelamin akan mudah dia bunuh. Bebannya terlalu berat untuk ditambah lagi dengan masalah baru dan pengeluaran baru. Sampai seperempat abad usianya, tidak pernah sekali pun Tristan berkencan. Pun dulu ketika semua bisa dia beli apalagi sekarang saat semua pengeluaran harus dia hitung cermat.

Apa yang bisa diharapkan dari lelaki seperti dia? Bahkan dia sendiri tidak tahu ke mana dia harus melangkah di masa depan. Saat ini yang dia pikirkan hanya bagaimana melewati hari ini dengan baik-baik saja. Bisa kuliah, bisa makan, ada tempat tinggal, bisa bekerja, tanpa ada interupsi berkonfrontasi dengan ayahnya. Itu saja. Sesederhana itu.

Dia tahu dia meredup ketika memilih melepas semua fasilitas dari ayahnya. Pakaiannya lusuh dia cuci sendiri dan sering tanpa terkena panas setrika. Toiletries hanya seperti kebanyakan yang lain yang mudah dibeli di sepanjang jalan. Kulitnya menghitam dan kusam selalu berkawan matahari tanpa ada perawatan sama sekali.

Menghela napas panjang, tapi dia tidak pernah menyesali pilihannya yang satu ini. Dia hanya merasa tidak layak bersama dengan gadis seberkilau Non. Masa lalunya yang suram justru menambah kemilau itu. Non yang selalu ceria semakin bercahaya ketika dia berhasil masuk ke kampus pilihannya. Memang tidak ada yang Non tutupi di sana. Tapi justru itu yang membuatnya lebih berharga. Temannya tahu bahwa dia hanya memiliki seorang abang angkat dan banyak adik angkat yang harus dia urus di sela jadwal kuliah yang padat. Dan itu membuat Non makin berharga.

Bagaimana bisa ibunya menghina gadis sehebat Non!

Ah, mengingat itu, pikiran yang lain datang lagi.

Kehidupan seperti apa yang bisa dia tawarkan pada siapa pun yang menjadi pendampingnya? Memang masih terlalu banyak orang yang masa lalunya lebih gelap daripada dia. Namun setiap kehidupan memiliki badainya sendiri. Dan badai itulah yang selalu dia selami sendiri saja. Tak pernah sedikit pun dia berani berharap ada yang menemaninya berselancar di badai itu.

Jika berhubungan dengan apa pun yang berkaitan dengan berpasangan, dunianya segelap hitam. Terlalu gelap untuk diraba. Dia pun tidak berani meraba masa depannya dengan orang lain. Cukup dirinya sendiri saja. Sakitnya adalah sakit sendiri. Tak perlu ada lagi yang merasakan sakit itu apalagi menjadi sakit karena keberadaannya. Sedihnya adalah sedih sendiri. Wajahnya basah airmata tanpa wujud. Tak perlu ada yang mengeringkan air mata seperti itu karena tidak ada yang bisa melihat air itu.

Dia hanya batang kayu yang tumbuh gersang meranggas sendirian. Tak bisa menjadi peneduh di siang yang terik atau di hari berhujan. Dia hanya terpaksa harus ada.

***

Menjelang siang dia baru sampai di rumah. Trisha menyambutnya dengan celoteh riang menceritakan isi kebun. Melihat gadis kecil itu, hatinya menghangat sekaligus sakit. Apa yang bisa dia lakukan agar adiknya bisa selalu seceria ini? Seperti cerianya gadis yang mengganggu tidurnya semalam.

"Bang, kok baru datang sih?" Merajuk. "Kemarin pas mau pergi jemput Teh Non katanya Abang ke sini pagi. Adek sudah nurut kan nggak ikut Abang jemput Teh Non kemarin."

"Maaf ya, Dek. Abang capek banget. Jadi tidurnya bablas sampai siang."

"Tapi kan sebentar lagi Adek harus ke asrama lagi." Makin merajuk.

"Maaf ya." Wajahnya sungguh menunjukkan penyesalan. Semalam dia tidak bisa tidur. Lepas subuh baru bisa tidur dan baru bangun ketika matahari sudah sangat tinggi. "Sekaran Abang harus bikin apa biar Adek maafin Abang?"

"Ugh..." Trisha melengos dan berjalan menjauh ke arah kebun. Tempat yang lain berkumpul.

Melihat Trisha menjauh, Tristan menarik napas panjang. Lelah dan semakin lemah. Gontai, dia berjalan ke arah balai-balai lalu menjatuhkan bokongnya di sana. Tempat ini selalu sejuk sepanas apa pun udara di sekitarnya. Pandangannya masih terpaku ke arah kebun, ke arah menghilangnya Trisha. Namun dari sana juga muncul gadis yang mengganggu tidurnya. Langkahnya ringan membawa keranjang berisi hasil kebun. Melihat itu, tanpa perlu disuruh, dia mundur teratur. Otaknya langsung menyuruh hati untuk menekan rasa apa pun yang kemarin sempat hadir. Dia tidak pantas cemburu karena dia bukan siapa-siapa.

***

Bersambung

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang