105, Bertemu Dengan Pengacara

173 49 72
                                    

LEPAS magrib mereka berangkat menuju tempat pertemuan yang sang pengacara tentukan. Sebuah restoran dengan privasi utuh. Tempat yang mereka tuju nyaris tertutup total dari bilik lain. Mereka disambut Setiabudi dan seorang lagi yang diperkenalkan sebagai asistennya. Meski memasang muka datar, tapi Tristan menjabat tangan keduanya dengan mantap dan memperkenalkan Non sebagai istrinya.

"Hah? Istri? Kapan nikahnya?" Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kok nggak ngundang-ngundang?"

"Sudah beberapa bulan lalu, Pak. Memang nggak ngundang siapa-siapa. Papa aja taunya pas saya di rumah sakit, beberapa jam sebelum dia meninggal."

"Oh, pantas Pak Trisna nggak pernah cerita." Dia mencuri pandang lebih teliti pada Non. Melihat ke tengah tubuh Non. Meski hanya mencuri pandang, tapi Non bisa melihat itu, membuat Non jengah dan Tristan jengkel. Untunglah Non memakai jeans dan t-shirt slimfit yang ditutupi hem tak terkancing. Jelas terlihat tidak ada yang disembunyikan di balik perut rata itu.

"Jadi, ada hal penting apa ya, Pak, sampai harus ketemu langsung?" Tak mau berlama-lama apalagi berbasa-basi, Tristan bertanya langsung ke tajuk utama.

"Kita santai dulu lah, Mas. Makan dulu. Saya sudah pesan makanan."

Tak lama pelayan datang menyiapkan meja dan mengisinya. Tak ada pilihan lain, Tristan mengambil dalam porsi kecil, sekadar basa-basi ketimuran. Pantang menolak pemberian orang. Tak mungkin juga terlalu terburu-buru, Tristan makan dengan kecepatan normal sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan ringan dari si pengundang. Hanya pertanyaan standar saja. Sangat jelas dia menjaga tidak membahas urusannya sampai waktunya tiba.

Sampai akhirnya meja kembali bersih. Hanya tersisa penganan pengisi kekosongan meja dan gelas minuman di depan masing-masing orang.

"Jad gimana, Pak?" tanya Tristan lagi.

Setiabudi hanya terbahak lepas. "Buru-buru amat sih, Mas. Saya biasanya sih buru-buru. Tapi sudah bukan jam kerja, jadi saya santai aja."

"Maaf, Pak. Besok kami harus kuliah. Masih ada kerjaan lain juga yang belum beres." Sedikit berbohong di sini, tapi tidak sepenuhnya bohong juga karena Tristan memang ingin membahas soal pekerjaan lebih serius dengan Non secepatnya.

"Kerjaan apa, Mas? Tugas kuliah?"

Tristan menggeleng. "Kerja, Pak. Cari uang."

Pengacara itu terkekeh. "Mas kerja apa?"

Mendengar kekeh itu, tekanan darah Tristan agak naik. "Jualan online."

"Ohh..." Dia mengangguk satu kali. "Kayaknya pas nih dengan pembahasan kita."

"Maksudnya?"

"Kamu tau kalau orangtua kamu sudah bercerai?"

"Papa cuma sempat info kalau mereka akan bercerai beberapa jam sebelum dia meninggal. Kalaupun kemarin belum cerai, sekarang otomatis cerai kan, Pak? Mama saya otomatis jadi janda."

Lawan bicaranya tersenyum. "Tapi secara legalitas nggak begitu. Putusan cerai sebelum atau sesudah Pak Trisna meninggal pengaruhnya besar."

"Maksudnya?"

"Kalau ibu kamu cerai mati, dia dapat warisan. Tapi kalau cerai hidup, ibu kamu nggak dapat warisan, tapi dapat harta gono-gini."

"Aduh, Pak...." Tristan membanting keras punggungnya ke sandaran dan langsung berkeryit. "Saya nggak peduli urusan itu." Dia lupa sakitnya saking tidak pedulinya urusan warisan.

"Mau nggak mau Mas harus peduli karena sekarang nasib perusahaan Pak Trisna di tangan Mas."

"Maksudnya?"

"Orangtua Mas cerai hidup."

"Papa bilang mereka akan bercerai. Bukan sudah bercerai. Artinya mereka belum bercerai."

Pengacara itu tersenyum. "Ngurus perceraian nggak bisa kilat. Ketika Pak Trisna bilang akan bercerai itu artinya dia sudah mengurus itu beberapa bulan sebelumnya, proses sedang berlangsung. Jadi ketika dia bilang akan bercerai, itu sisa tunggu ketuk palu aja. Dan ketuk palunya di hari terakhir beliau hidup. Artinya mereka cerai hidup."

"Dan apa hubungannya sama saya?"

"Bisa dibilang Mas Tristan jadi pewaris tunggal harta Pak Trisna karena adek Mas masuk perwalian ke Mas. Ketika Dek Trisha sudah dewasa secara hukum baru harta itu bisa dibagi. Sekarang, semua ke Mas Tristan."

Tristan masih berada di semesta yang lain.

"Mama saya?"

"Kan tadi sudah saja jelaskan. Cerai hidup sudah dapat gono-gini dan tidak berhak warisan lagi karena sudah cerai. Nggak ada warisan untuk mantan istri."

Tristan masih berusaha mendarat di bumi dengan mulus tapi ternyata gagal. Dia jatuh berdebam dan terkejut total.

"Ibu cuma mau cash. Nggak mau ribet ngurus yang di sini karena mau pindah ke New Zealand. Pak Trisna anak tunggal, jadi, yang di sini semua ke Mas."

Setelah jatuh berdebam dia terseret-seret entah ke mana. Jiwanya tak bersatu dengan raganya.

"Rinciannya apa aja, ada di sini." Asistennya menyodorkan sebuah map yang langsung dia berikan pada Tristan.

Tak tahu harus melakukan apa, disodori map, Tristan hanya membuka tanpa bermaksud membaca isinya. Dia hanya menangkap namanya dan nama Trisha ada di sana.

"Hak mengikuti kewajiban." Pengacara itu bersuara lagi. "Mas sekarang berhak penuh atas apa yang tertulis di sana. Termasuk perusahaan milik Pak Trisna. Nah, itu yang menuntut kewajiban Mas sebagai pemilik. Mas Tristan pemilik, bukan cuma C level. CEO, CMO, CITO..." tangannya bergerak menghalau angin, "... yang akan nurut sama keputusan owner. Dalam hal ini keputusan Mas."

Tristan makin kacau.

"Saat ini, perusahaan itu menuntut kewajiban Mas. Dia butuh keputusan akan dibawa ke mana semuanya."

"Tap... tapi... saya nggak ngerti apa-apa soal perusahaan, Pak. Ke kantor Papa aja nyaris nggak pernah."

"Nah, sekarang itu jadi kantor Mas. Mau nggak mau Mas Tristan harus sering ke sana."

"Tapi...."

"Tenang aja, Mas. Mas nggak langsung dilepas kok. Pak Trisna kan ada tim. Mereka pasti akan bantu Mas. Saya nggak ada urusan di sana. Tugas saya cuma menyampaikan ini aja ke Mas. Bahwa Mas ditunggu tim Pak Trisna di kantor secepatnya. Kapan Mas bisa ke sana?"

"Apa?" Mendesis, mendelik.

"Ke sana untuk kenalan dulu aja, Mas. Kenal medan juga. Nggak bakal langsung disuruh kerja ini itu. Mereka pada dasarnya sudah ada opsi-opsi apa yang harus dilakukan. Mereka cuma butuh acc Mas aja. Tapi kan nggak mungkin Mas main tanda tangan aja. Makanya, Mas tetap harus ke sana, pelajari seluk beluk perusahaan itu. Pelan-pelan aja. Tapi tetap harus dimulai sekarang karena itu menyangkut nasib ribuan karyawan. Salah ambl keputusan, perusahaan kolaps, karyawan-karyawan itu nggak bisa kerja."

Terasa ingin pingsan saja ketika dia mendengar rentetan kalimat itu.

"Tapi saya nggak ngerti apa-apa, Pak?" Kali ini dia sungguh ingin menangis.

Pengacara itu tersenyum.

"Kapan Mas ada waktu? Kita selesaikan urusan legalitasnya, lalu Mas segera ke kantor. Di sana tim Pak Trisna yang sekarang sudah jadi tim Mas Tristan sudah siap. Mereka akan menjelaskan semua. Mas tinggal tanya aja."

Astaga!

Apa yang harus dia tanya jika tidak ada sedikit pun yang dia mengerti?

"Secepatnya ya, Mas."

Mendadak dia ingin menggali kuburannya sendiri.

***

Bersambung

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang