MENGISI waktu di tol, Fabian berpikir apa yang harus dia lakukan. Yang pertama tentu memastikan tempat untuk keimpulsifannya menolong gadis yang masih duduk kaku di sampingnya.
Dia menelepon Pak Barjo, lagi-lagi meminta kesediaannya menampung Non seperti dulu untuk urusan Ando. Dia tentu saja tidak bisa menggabungkan Nona dan Ando di rumah yang baru dia bangun. Bu Barjo lagi-lagi bersedia menampung. Baginya, menghidupi satu anak yang bisa membantunya adalah amal yang menguntungkan dunia akhirat.
Setelah urusan tempat tinggal beres, hal lain yang Fabian lakukan adalah singgah membelikan Non beberapa pasang baju harian termasuk pakaian dalam dan toiletries ala kadarnya. Fabian membiarkan saja Nona yang masih menjaga jarak darinya. Sebenarnya, bukan Nona tidak mau mendekat, tapi dia tidak mau orang menilai Fabian lain. Ketika Fabian menyuruhnya memilih pakaian, dia hanya menyambar asal beberapa kaus dan celana rumah bermotif batik. Dia terlalu lusuh untuk berdekatan dengan Fabian yang masih tetap rapi meski sudah malam. Dia berdiri di tangga teras toko saat Fabian membayar, setelah selesai dia mengikuti saja Fabian melangkah setelah mengambil jinjingan dari tangan Fabian.
Sepanjang sisa perjalanan dan sepanjang Fabian berbincang dengan Pak Barjo dan Bu Barjo, Non duduk memeluk jinjingannya.
"Neng Non mau sekolah?" tanya Bu Barjo.
"Eh?" Dia tergagap.
"Neng mau sekolah?"
"Non aja, Bu."
"Non itu nama panggilan kamu kan?" tanya Fabian. "Nama lengkap kamu siapa? Maksud saya, Non itu kayak neng aja kan?"
"Nggak, Pak. Nama saya memang cuma sekata itu. Nona."
"Eh? Enak amat itu kalau ujian. Nggak lama isi lembar jawaban."
"Saya nggak tau, Pak. Dari kecil dipanggil non non aja. Lalu kata Nenek pas ada pemutihan akte kelahiran Nenek daftarin nama saya ya begitu aja. Nona."
"Gimana?" Fabian bertanya keheranan.
"Nenek nemuin saya di tumpukan sampah."
Tiga pasang mata mendelik sempurna disusul bibir-bibir meminta ampunan dan pertolongan Langit.
"Sekarang Nenek kamu mana?" Suara keibuan Bu Barjo jelas terdengar teriris mendengar kisah sepahit itu.
"Sudah nggak ada."
Dan semua kalimat-kalimat efektif itu keluar dari wajah datar Non. Hanya sedikit riak yang hadir ketika mengatakan soal neneknya.
"Ya sudah, Non kalau mau mandi, mandi dulu aja."
Non langsung mengangguk bersemangat. Dia langsung berdiri mengikuti langkah Bu Barjo. Ketika Non sudah masuk ke kamar mandi, Bu Barjo kembali bergabung dengan dua lelaki.
"Nanti kalau ada anak cewek yang lain baru si Non gabung ke Ando," ujar Pak Barjo menginfokan pada istrinya.
"Apa aman gabung anak laki dan perempuan?" tanya Bu Barjo. "Mending si Non di sini aja. Kayaknya anaknya rajin."
"Bang Ian mau jadiin Non adik angkat lagi," ujar Pak Barjo lagi.
"Ya nggak apa-apa di sini kan? Daripada ada kejadian aneh-aneh."
"Ya sudah, untuk sementara di sini aja. Besok ya besok aja dipikirinnya."
"Kalau dia rajin kayak Ando ya Ibu sih senang sekali, Bang."
"Kita lihat dulu aja ya, Bu. Nanti Ibu kabarin ke saya anaknya gimana."
Tiga orang itu akhirnya sepakat dengan keputusan terakhr itu. Tak lama, Non kembali ke mereka dengan tampilan yang segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...