103, Pesan Dari Masa Lalu

165 49 48
                                    

TIDUR, meniduri, lalu tidur lagi.

Non membiarkan Tristan tidur. Kali ini dia berjaga di sampingnya. Lepas dia menyelimuti Tristan dan merapikan sedikit bekas-bekas kekacauan yang mereka timbulkan, dia membersihkan diri. Dia memandangi tubuhnya yang penuh jejak kebrutalan Tristan. Lagi-lagi hatinya teriris. Berusaha menahan isak yang entah kenapa sejak mereka bersama sangat mudah keluar.

Salahkah?

Apa ada yang salah dengan kebersamaan ini sampai mereka sekacau ini? Dia masih ingin sendiri, tapi dia tahu, Tristan tidak boleh sendiri. Ah, dia pun tidak ingin sendiri. Tidak bisa.

Hari makin sore, tidak ada tanda-tanda Tristan akan bangun. Sungguh, dia tidak ingin ada orang lain yang tahu keberadaan mereka di sini. Namun dia juga tidak ingin jika ada orang lain yang tiba-tiba datang.

Bagaimana ini?

Kali ini dia tidak ingin jauh dari Tristan. Dia duduk bersandar di kepala ranjang sambil terus menatap wajah tidur Tristan yang berhias keryitan di dahi. Bahkan dalam tidur pun dia berpikir sekeras itu. Melihat itu, tangannya terjulur mengelus dahi lelakinya, berusaha menghilangkan kerut di sana. Tak berhasil, tangannya beralih merapikan anak rambut di sana.

Sungguh, rasa sayang ini sangat cepat bergerak. Yang dia tahu, seperti gema, semua akan kembali ke sumbernya. Seperti rasa ini, sayang ini, cinta ini, dia akan kembali. Dia menyadari itu. Dia bisa merasakan besarnya kasih Tristan untuknya. Semakin jelas ketika dua kali Tristan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya. Mengingat itu, hatinya kembali teriris. Mengingat kegalauan yang Tristan rasa yang ingin bertahan tapi juga ingin pergi. Tanpa dia berusaha tahan, airmatanya kembali jatuh. Dia menangis sambil mengecup lembut pelipis lelaki itu.

Suara ponsel bergetar menyentaknya. Tak ingin mengganggu Tristan, terbirit dia menyambar ponsel dan menjauh dari ranjang. Melihat nama di layar, dia bergegas menghapus airmata.

"Ya, Bang."

"Kata dokter apa?"

"Baik. Semua baik." Namun, mengingat apa yang tadi terjadi, dia kembali cemas. Tristan terlalu aktif dan dia tidak bisa menahannya.

"Non?"

Non makin kesulitan menahan isak. Permintaan video call masuk. Tanpa keinginan menolak, pasrah, dia menerima permintaan itu.

"Astaga... kamu kenapa, Dek? Tristan kenapa?" Wajah di layar langsung menunjukkan kecemasannya melihat wajah sembab Non. "Tristan mana?"

Non hanya mengganti kamera untuk menunjukkan posisi Tristan. Dari gambar yang Fabian terima, dia langsung tahu di mana mereka dan apa yang sudah terjadi di antara mereka. Tristan tidur tertutup selimut dengan pakaiannya yang hanya tersampir di ranjang. Non sudah cukup merapikan sisa percintaan mereka.

"Kalian kenapa? Tristan ngapain kamu sampai kamu nangis begini? Dia kasarin kamu?" Pertanyaan mencecar Fabian tentu tidak bisa langsung dijawab. Fabian semakin serius menekuri wajah Non. "Itu bibir kenapa bengkak? Tristan juga? Cuma dicium kan? Bukan dipukul?" Cecarnya lagi.

Non menggeleng.

"Non... kamu mau cerita, Dek?"

"Bang... izinin kami ngontrak ya...."

Fabian menarik napas panjang.

"Aa mau beli rumah kok. Kalian di situ aja."

"Bang, Tristan nggak akan mau."

"Kenapaaa?" Putus asa.

"Tau sendiri kan egonya Tristan itu tinggi banget. Dia nggak mau terima bantuan terus. Apalagi kalau sampai bikin Aa beli rumah segala."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang