MATAHARI sudah cukup lama hilang ketika akhirnya Non mengabarkan bahwa dia sudah selesai. Tersenyum, Tristan mematikan laptop dan merapikan berkas-berkasnya, bergegas menjemput Non. Setelah hari yang melelahkan, melihat perempuannya adalah pengobat rindu pengurai lelah. Cukup berjalan santai untuk menemui Non di meeting point yang dia sebut. Dengan lengan kemeja tergulung asal dan dasi yang jelas sudah terbuntal di backpack, dia berjalan sambil mencangklong tas. Dari jauh mereka sudah saling memindai dan senyum-senyum kelegaan sudah tercetak dan terkirim.
"Hai." Tangannya terjulur berusaha secepat mungkin menggapai Non.
"Hai." Tangan itu bersambut lalu saling meremas erat. "Aku lega loh lihat kamu jam segini masih ganteng maksimal."
Tristan terbahak lepas.
"Apalagi pakai ngakak gitu. Makin lega."
"Ada apa sih? Sampai segitunya. Apa artinya kegantengan yang maksimal ini?"
"Artinya kamu nggak sakit. Luka kamu getting better beneran. Dan urusan di kantor running well. Ya mungkin nggak well-well banget, tapi nggak bikin hari kamu berantakan dan berefek gantengnya nggak maksimal."
Lagi-lagi Tristan tergelak sambil tangannya menyentuh lembut pinggang Non, mengarahkannya ke parkir mobil. Dia cukup tahu diri, ini bukan areanya dan pernikahan mereka belum tercatat, dia tidak bisa terlalu mengumbar kemesraan di depan publik.
"Sudah makan?"
"Sudah makan?"
Satu pertanyaan yang sama terdengar dari bibir keduanya yang membuat mereka tertawa renyah. Roda mobil sudah berputar di jalan meninggalkan lahan parkir.
"Tadi ngemil aja di café."
"Tadi ngemil bakwan sambil nunggu dosen."
Mereka menjawab bersamaan.
"Kita makan di rumah aja ya sambil jemput Trisha," usul Tristan. "Ibu cepat kok kalau masak."
"Halah, ceplok telur lima menit beres, nggak perlu pakai Bu Darmi." Non melambaikan tangan menghalau angin untuk menggambarkan betapa remehnya urusan makan baginya. "Trisha sudah di rumah?"
"Belum. Kan minggu lalu aku janji jemput dia. Tadi sudah bilang ke gurunya kalau aku jemputnya malam." Tristan begitu santai, sebelah tangannya bersandar di jendela sambil menyugar rambut. "Eh, Non. Tadi pas nungguin kamu, aku tuh mau banget ngerokok."
"Lalu?" putus Non cepat. Dia sampai menolehkan wajah untuk menatap Tristan langsung, menelisik ekspresinya. "Kamu sudah lama banget loh nggak ngerokok."
"Aku berhasil nggak ngerokok." Tersenyum, Tristan berkata sama cepatnya. "Bantuin ya, siapa tau aku berhasil beneran berhenti ngerokok."
Jika mereka sedang tidak di mobil yang bergerak, sudah pasti Non akan memeluk Tristan erat. Namun yang bisa dia lakukan sekarang hanya memekik kecil sambil menangkupkan tangan di dada dalam prosesi berdoa.
"Aku harus ngapain?" tanyanya cepat.
"Ingetin aja kalau aku mau ngerokok. Selama ini aku selalu ngerokok apa pun kondisi kejiwaan aku. Makin ke sini aku merasa, kalau aku mumet dosisnya nambah. Tapi sejak kecelakaan, aku nggak ngerokok dan keinginan ngerokok nggak ada pas aku baik-baik aja—"
"Aku akan berusaha biar kamu baik-baik aja," putusnya cepat.
Tristan tersenyum. "Kalau aku nggak baik-baik aja?"
"Nah, aku harus ngapain dong?"
"Kissing, petting, then making."
"Astaga...." Non mendelik sempurna dan Tristan terbahak sangat lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...