SETO langsung membuka anak kunci, Tristan menyerbu masuk menyusul Seto.
"Tristan...." Non langsung menabrak lelakinya.
"Non..." Lelaki yang terluka itu memeluk erat perempuannya.
Seto berjaga di ambang pintu, tangannya teracung dengan linggis siap memakan korban. Tak lama dia menarik anak kunci dan mengunci mereka di dalam. Dia memang tidak berniat bermalam di sana, ini hanya pengamanan sementara saja. Sekadar jeda sejenak menarik napas menormalkan detak jantung dan untuk memastikan Non baik-baik saja.
"Are you okay, Non." Tristan menarik keluar wajah Non dan mendapati wajah itu penuh airmata. Non hanya bisa mengangguk dan dia terisak ketika Tristan mengecupi wajahnya.
"Woy, nanti aja ciumannya, B*ngs*t!" Mendesis, kali ini Seto benar-benar geram. Tristan langsung sadar dan menjauhkan diri dari Non. Melihat baju Non terkoyak-koyak dia bergegas melepas hemnya dan membantu Non memakai hem itu.
"Ayo." Tristan menarik tangan Non dan mengarahkan gadisnya berdiri di belakang. Seto menempelkan telinga ke pintu berusaha memindai kondisi di luar.
Tiba-tiba dengan tubuh lemah terhuyung-huyung Non bergegas berusaha berlari ke jendela, Tristan tidak sempat menahannya. Namun Non hanya menarik selimut dari jendela dan melemparnya asal ke ranjang, dia juga menyambar botol air mineral yang menjadi tersangka mengandung entah obat apa.
"Buat apa?" tanya Tristan.
"Gue nggak mau mereka tau gimana cara gue kabur. Biar mereka lamaan mikirnya." Apa yang tadi dia kerjakan memang seperti membuang waktu yang sangat berharga dalam kondisi nyawa terancam. Non memasukkan botol ke backpack lalu mencangklongnya di dua bahu.
Padahal yang Tristan tanyakan adalah tentang botol itu. Namun Seto sudah membuka pintu dan melongok ke luar.
"Clear," bisik Seto yang memimpin di depan. Tristan berjaga di belakang, mengunci pintu dan mengambil kuncinya.
Bertiga mereka mengendap ke arah tangga. Non yang sudah begitu lemah bergantung sepenuhnya pada Trstan. Dia bergelayut di lengan Tristan sementara Tristan memeluk pinggangnya. Menyadari Non tidak bertenaga, di ujung tangga Tristan langsung menggendong Non di punggung. Dua lelaki itu berlari di sepanjang tangga. Menuju gudang, Tristan menurunkan Non, mereka harus lebih berhati-hati di sini. Selasar menuju ke area depan di depan gudang sangat rawan berpasasan. Tristan mengencangkan pegangan tangannya di pinggang Non. Seto berhasil masuk ke gudang tapi suara-suara di selasar menahan gerakan Tristan.
Kali ini dia langsung menyembunyikan tubuh Non di balik dadanya.
"Diam, Non," bisiknya. Tristan bersiap jika mereka berpapasan dengan petugas. Namun dari suara cekikikan yang terdengar, Tristan tahu, mereka hanya pengunjung. Meski begitu dia tetap merapatkan tubuhnya ke Non dan berlaku seakan mereka pasangan yang sudah diujung gairah. Dia terus begitu sambil melirik ke arah tangga tempat menghilangnya pasangan itu. Setelah merasa aman, dia langsung menarik tangan Non dan menyelinap ke gudang. Seto berdesis ketika mereka muncul. Non menyambar salah satu botol air mineral yang ada di meja. Pintu yang berderit mereka buka secukupnya saja.
Non sudah ingin kembali menangis ketika dia merasa bebas. Namun melihat Tristan dan Seto masih mengendap, dia kembali diam. Ketegangan ini belum selesai. Dia kembali menabahkan hati dan menguatkan tubuh berjalan tersaruk bergelayut bertumpu pada Tristan. Mereka mengambil rute yang sama ketika mereka masuk. Ilalang membantu mereka mengendap bersembunyi. Sambil merunduk terbungkuk, mereka bergerak secepat yang mereka bisa. Sampai akhirnya Dewa menyambut mereka dengan pintu mobil terbuka. Tristan mendorong masuk Non ke pintu terdekat lalu dia menyusul masuk ke sana. Seto dan Dewa langsung bergerak ke sisi pengemudi. Tanpa lampu, dua mobil itu bergerak beiringan.
***
Seorang lelaki berjalan pongah menaiki tangga diikuti si Botak dan si Codet. Langkahnya mantap dengan tujuan jelas. Di depan sebuah pintu dia terdiam sejenak lalu menoleh ke belakang.
"Mana kuncinya?"
"Hah?" Si Botak langsung melihat ke lubang kunci. Tak ada anak kunci di sana. "Eh, tadi lu ambil kuncinya?" Dia bertanya pada si Codet yang sama-sama kebingungan.
"Nggak. Nggak pernah dilepas dari pintu." Tapi dia tetap meraba seluruh kantong yang ada di pakaiannya.
"Ah, sudahlah, dobrak aja. Gue mau lihat barang barunya."
Tak menunggu waktu, si Botak langsung mendobrak pintu. Pintu terbuka setelah membuat suara gaduh yang terabaikan penghuni lain. Bertiga mereka masuk dan menyapu seluruh ruang.
Kosong.
Lelaki itu menatap bergantian ke arah dua orang yang memasang tampang bodoh sebodoh-bodohnya bodoh. Si Codet berlari ke jendela. Tak ada tanda-tanda kerusakan di sana. Teralis bahkan jendela tetap utuh. Plafond tak berlubang. Tak ada kerusakan sama sekali dan tak ada lubang yang bisa dilalui tubuh manusia normal. Lalu wajah bodoh keduanya bertemu, perlahan berubah menjadi ketakutan. Takut pada bos juga takut pada si gadis yang bisa menguap seperti hantu.
"Mana?"
Mereka harus menjawab apa?
Gadis itu benar-benar menguap.
***
Memasuki jalan kampung baru terdengar tarikan napas lega dari hidung Seto. Dia menukul keras kemudi sebagai penyalur kelegaannya. Di kursi tengah, Non meringkuk di pelukan Tristan.
"Kabarin yang lain," ujar Seto dengan nada sangat lega. "Aktifin share live location ke grup." Dia semakin yakin mereka sudah lolos dari lubang jarum ketika mereka sudah di jalan tol.
Tristan langsung merogoh kantungnya dan melakukan apa yang Seto perintahkan tapi belum sempat dia membagikan lokasi, dia mendengar isakan Non. Melempar ponsel, dia makin mengeratkan pelukannya.
"Sshh... insyaAllah sudah bebas, Non. Kita semua selamat. Jangan nangis."
"Trisha...." Berbisik mengerang.
Dua wajah lelaki di sana langsung kaku.
"Terus berdoa semoga dia baik-baik aja ya, Non."
Apalagi yang bisa Tristan katakan untuk menenangkan Non? Sementara dia pun sangat berantakan. Percuma menanyakan Trisha pada Non. Dia tidak tahu apa-apa saat berpisah dengan Trisha.
Non berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tristan menyambar botol yang sejak tadi menjadi sarana Non menyalurkan ketakutannya. Dia memeriksa botol itu. Tutup tersegel rapat. Plastik dan kuncian. Dia memencet-mencet botol, tidak ada rembesan keluar dari bawah botol.
"Gue haus, Trist."
"Nih. Aman kok."
Dia memberikan botol yang sudah dia buka tutupnya, merusak segelnya. Non hanya sempat meminum seteguk ketika dia teringat ponsel di pinggang belakangnya. Dia meraba ke belakang, ponsel itu masih ada meski agak jatuh ke b*k*ng
Tristan mengecup puncak kepala istrinya mengetahui bagaimana Non menyembunyikan ponsel penyelamat itu.
"Itu si Dewa bawa mobil kenapa oleng gitu?" Tiba-tiba Seto bersuara.
Tristan langsung melihat ke mobil Rey di belakang mereka. "Ngantuk tuh anak. Pepet dulu."
Seto menurunkan kecepatan sampai dua mobil itu sejajar. Tristan membuka jendela.
"Woy."
Dewa membuka jendela.
"Ngantuk lu?"
"Iya. B*ngs*t. Nggak tegang malah ngantuk."
"Sekrang apa di rest area di depan?" tanya Tristan.
Rest area beberapa kilometer di depan menjadi tujuan mereka. Seto mengawal Dewa sampai akhirnya mereka melambatkan laju memasuki rest area.
***
Bersambung
Masih ada Trisha yang belum ada kabar.
Kita rehad sejedag.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...