55, Catatan-Catatan Fabian

156 53 66
                                    

"KALIAN harus nikah sekarang mumpung ada Abang jadi wali nikah Non."

Tiga manusia di sana langsung terperangah maksimal.

Ari menegakkan punggung, Tristan sampai langsung berdiri di depan Fabian, sementara Non mendelik sempurna.

"Apa?" Non berteriak.

"Gila lu, Bang!" Tristan mendesis.

"Abang serius, Dek. Cuma itu yang bisa Abang kerjain buat ngelindungin kalian."

"Bang, gue tau lu banyak pikiran. Stres boleh, Bang. Depresi jangan. Apalagi gila." Tristan berkata sambil bertolak pinggang. Dia sungguh tidak bisa mengerti jalan pikiran orang yang dia segani ini.

"Gue serius banget kali ini." Aura Fabian menegaskan itu.

"Jangan mentang-mentang lu dijodohin lalu seenak jidat gini jodohin orang ya, Bang." Mendesis dan jengkel.

"Nggak ada urusan sama itu. Gue suruh kaliian nikah karena gue nggak mau kalian ngelewatin batas."

"Batas yang mana, Bang...?" Tristan putus ada. Nada suaranya seperti orang memohon sambil menarik rambutnya keras. "Kami cuma ke kebun make sure si Sondesip baik-baik aja, nggak ada yang ganggu, nggak ada intruder. Kok tau-tau disuruh nikah. Gila lu totalitas amat sih, Bang."

"Trist, gue sering banget terima laporan lu sama Non."

"So what?" Tristan mengentakkan tubuh. "Kalau ada yang laporan seperti itu, itu artinya mereka ngelihat kami berduaan. Artinya kami masih terlihat, nggak ngumpet-ngumpet."

"Yang barusan di kebun?"

"Ya Allah, Bang... cuma gara-gara itu kami disuruh nikah sekarang? Nggak ada yang lebih absurd lagi?"

"Kenapa lu nggak mau nikah? Lu nggak suka sama Non? Kalau nggak suka, ngapain lu berduaan mulu sama Non? Jangan PHP-in anak gadis orang ya."

Tristan tergagap tidak bisa menjawab. Mulutnya hanya membuka menutup seperti ikan diangkat dari air.

"Bang, sadar nggak sih lu? Nikah itu salah satu hal terbesar dalam kehidupan seseorang. Nggak segampang itu mutusin untuk nikah. Dan gue berduan sama Non karena kami partner kejar. Ck." Tristan berdecak, kesal. Dia kehabisan akal mengikuti jalan pikiran Fabian. Kali ini sepertinya akan menjadi kali pertama dia membantah dosennya ini.

"Gue memang nggak ada di sini, tapi gue bisa bedain partner kerja dan bukan. Gue cowok, Trist."

"Sok tau." Berdecak, tapi jantungnya berderap sangat cepat.

"Non." Fabian mengalihkan tatapannya pada satu-satunya gadis di sana. Gadis yang mendadak menjadi pesakitan.

"Hah?" Gadis itu langsung mengangkat wajah.

"Kamu nggak mau nikah sama Tristan?"

"Eh?"

"Bang, Non bukan Rey yang bisa Abang paksa nikah."

"Gue nanya Non, bukan lu. Cicing weh."

Lagi-lagi Tristan mengentak tubuh kesal sambil menarik rambutnya keras dan kasar.

"Bu... bu... bukannya nggak mau, Bang."

"Tapi...?"

"Ya buat apa? Salah kami apa?" Hatinya terbelah. Tapi mendengar jawaban Tristan sebelumnya, dia harus mengikuti arus.

"Sebelum kalian bikin kesalahan, Abang pagerin dulu."

"Kalau kami janji nggak berduaan lagi gimana?" tanya Tristan. Hatinya mendadak teremas. Secepat inikah perpisahan itu?

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang