59, We're Here Now

177 48 65
                                    

"GUE yang bawa." Tristan langsung menyambar kunci mobil dari tangan Ari.

"Eh, nganten anyar duduk aja di belakang berdua. Sambil nge-DP juga nggak apa-apa. Anggap Ari nggak ada." Mendengar itu, Tristan langsung membalik tubuhnya cepat berjalan lurus ke arah Fabian. "Ari nggak apa-apa sekali-kali jadi supir." Fabian terkekeh, sangat menjengkelkan di telinga Tristan. "Eh, lu galak ke Non aja. Sudah halal."

"B*ngs*t!" Malas meladeni Fabian, Tristan kembali berbalik arah menuju mobil.

Namun Fabian mengikuti langkah Tristan. Ketika pintu mobil sudah terbanting menutup, Fabian yang sudah ada di sisi pengemudi mengetuk kaca. Jendela meluncur turun.

"Apa lagi?" bentak Tristan. Tangannya menggenggam kemudi sampai berbuku putih.

"Titip Non," pinta Fabian sambil menatap langsung mata Tristan. Membuat Tristan semakin mengeratkan genggaman tangannya di kemudi. "Kalian omongin semuanya." Tristan memejamkan mata sangat rapat sampai sudut matanya berkerut-kerut. "All time is yours." Fabian memberikan senyum yang menentramkan. "Abang nggak mau bikin keputusan salah ya." Dia menepuk bahu Tristan keras dan Tristan hanya mengangguk kaku satu kali.

Setelahnya, kaca mobil kembali naik dan mobil bergerak pergi. Fabian dan Ando mengantar mereka sampai pagar. Setelah mobil total menghilang dari pandangan mata, Fabian menarik napas panjang sementara Ando menarik pagar menutup.

"Gue salah nggak sih, Ndo?" tanya Fabian ketika mereka berjalan ke arah garasi, area bujang.

"Kayaknya sih nggak, Bang. Mereka memang makin dekat."

Fabian menarik napas, sedikit lega.

Biar masa depan yang menjawab pertanyaan itu. Tugas masa sekarang hanya mengerjakan saja sementara masa lalu mendampingi.

Malam itu lelah membuat Fabian bisa cepat jatuh tertidur di rumah baru.

***

Hanya kesunyian yang menemani mereka di ruang bergerak itu. Suara musik terdengar lembut, sekadar ada suara lain di sana. Non duduk sendirian di belakang. Tangannya bergerak acak memainkan memutar-mutar dan membalik-balik ponsel. Tristan berkendara dalam diam dan dengan kecepatan yang di atas batas. Ari yang pendiam pun jengah dengan kebekuan ini. Membuat dia memejamkan mata meski jelas dia tidak tidur.

Jalanan yang sepi dan kecepatan yang tinggi membuat waktu tempuh bisa dipersingkat. Tristan mengarahkan mobil ke drop off area.

"Kalian butuh mobil?" tanya Ari sebelum turun.

"Hah?"

"I'll send a car tomorror morning."

"Nggak. Nggak usah. Thanks," jawab Tristan cepat. Dia sudah sangat terbiasa berganti moda transportasi umum beberapa tahun belakangan ini.

"Oke."

Tristan turun dan Ari mengganti posisinya.

"By the way, congrats to your wedding, Bro," ucapnya sebelum menutup pintu. Lalu dia berpamit dengan membunyikan klakson meninggalkan Tristan dan Non yang berdiri di belakangnya sama-sama terdiam seperti patung selamat datang. Sampai bell boy menyapa mereka baru mereka tersadar lalu melangkah melewati pintu masih dengan formasi yang sama, Non mengekor di belakang Tristan.

Pun di lift yang hanya terisi mereka berdua, dan di selasar kosong tanpa orang lain, mereka masih tetap diam berjalan berbaris. Ketika pintu membuka baru Tristan mundur selangkah, mempersilakan Non masuk terlebih dahulu.

Dan di sanalah mereka. Di ruang tengah sebuah apartemen di ketinggian di pusat Jakarta. Ruang ini sederhana. Namun biasa terisi kehangatan dengan keberadaan Fabian dan teman dan keluarganya. Tapi kali ini ruang itu terasa sangat dingin. Dingin sejak pemiliknya pergi dan semakin dingin ketika pengantin baru itu ada di sana, hanya berdiri kaku di tengah ruang.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang