107, Lingkaran Setan

307 49 12
                                    

TANPA kata, Non langsung membantu lelakinya. Berlari ke dapur mengambil air hangat di gelas lalu ikut bersimpuh memijat tengkuk Tristan.

Seakan masih ada isi perutnya, Tristan terus berusaha muntah. Keringat mengucur dari seluruh tubuh membasahi baju bahkan rambutnya pun basah keringat. Lelah, dia tak lagi berusaha memuntahkan isi perutnya tapi dia masih menunduk berpegangan di bibir kloset. Tremor tubuhnya entah karena apa. Tubuhnya teraba dingin dan basah keringat. Bergegas Non membuka hem Tristan lalu menyelubungi punggung telanjang itu dengan handuk.

"Minum dulu, Trist." Menurut, Non membantu Tristan minum. "Aku bikinin teh hangat lagi ya?"

Tristan menggeleng. Non menghapus keringat di dahi dengan telapaknya.

"Kita ke kamar ya."

"Aku masih mual."

"Nanti di baskom aja muntahnya. Kita ke tempat tidur biar kamu nyaman duduknya."

Menurut, Tristan berusaha bangun. Ringisan di wajahnya membuat Non makin sigap membantu. Kali ini dia tidak menolak bantuan itu. Dia sungguh tidak sanggup berdiri di atas kakinya sendiri saat semua sakit datang menghampiri termasuk nyeri di perut.

Perlahan, Non mengarahkan Tristan duduk di ranjang lalu sigap mengambil kaus di lemari dan membantu Tristan memakai kaus itu.

"Perut kamu sakit lagi ya?" Dia membantu Tristan merebahkan tubuh.

Tristan diam. Matanya lagi-lagi terpejam. Dia tidak ingin Non membaca sakit di matanya.

Hari ini terlalu banyak yang terjadi yang harus dia alami. Dalam waktu kurang dari 24 jam dunianya kembali terjungkal.

Tubuhnya kaku dan wajahnya memucat.

"Where's my pill, Non?" Lirih, nyaris berbisik menahan nyeri.

Non kembali berlari mengambil obat lalu langsung membantu Tristan menelan obat itu.

"Kita ke rumah sakit ya, Trist." Non tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya. "Aku takut infeksi di dalam." Dia menyusupkan jarinya ke tangan Tristan. Membuat Tristan yang sedang berjuang meremas jari itu. Dari kekuatan remasan Tristan, Non bisa membayangkan sakitnya.

Tapi sakit yang mana? Apa benar hanya luka itu saja? Semua luka yang Tristan rasa sama bahayanya.

Diam

Malam mendekati tengahnya. Kehidupan di bawah mungkin sudah berkurang yang membuat dunia sesenyap ini. Namun di sini, dunia selalu sepi. Apalagi sekarang.

Satu isak keluar dari hidung Non. Isak yang membuat Tristan langsung membuka mata.

"Non...." Lirih. "Jangan nangis ya. Aku nggak apa-apa."

"Kamu sakit, Trist."

"Kasih aku waktu ya."

Non malah meraung.

"Tristan! Jangan selalu tutupi sakit kamu. Aku tau aku juga kacau. Tapi kamu nggak harus selalu berkorban untuk tenangin aku."

Non semakin kacau melihat lelakinya sekacau in. Siapa yang lebih berantakan sekarang? Ini seperti lingkaran setan. Mereka terbelit di dalamnya.

Wajah Tristan makin pucat. Bibirnya kering. Keringat terus keluar dari setiap pori-pori kulitnya. Bajunya basah lagi.

"Tristan, ayo ke rumah sakit."

"Aku nggak apa-apa. Obatnya masih kerja. Belum bereaksi." Lirih.

"Tristan, ya Tuhan, Tristan...." Non benar-benar meluruh bersimpuh di sisi ranjang. Sebelah jemarinya tetap terkubur di tangan Tristan lalu dengan kepala menangkup di ranjang—dia tidak mau membebani tubuh Tristan—sebelah tangannya yang lain bergerak lemah di perut lelakinya. Merasai sakitnya. Menangis di sana.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang