BUS yang mereka tunggu datang. Non memilih bangku dua di bagian tengah bus. Ini hanya bus AKAP, antar kota antar provinsi, jarak pendek. Bangku rapat samping dan depan. Mereka duduk berhimpitan. Namun keberadaan penyejuk udara cukup membantu. Sebagian penumpang memilih tidur. Tristan terus memperhatikan kehidupan di dalam bus. Ada pengamen yang sejak bus bergerak dia sudah memulai konsernya. Cukup menghibur dalam arti suaranya tidak mengganggu telinga. Dia memilih lagu-lagu lembut pengantar tidur.
"Lu baru naik bus begini ya?" Suara Non mengganggu keseriusannya. Tristan hanya mengangguk.
"Ada apa, Trist? Kayaknya ada yang lu pikirin deh."
Tristan menghela napas. "Banyak. Selalu ada yang gue pikirin."
"Lu kayaknya mikir berat pas gue nanya pulang ke mana deh."
Lagi-lagi Tristan menghela napas lalu menyugar rambut.
"Selain kesiapan mental, gue juga nggak siap materi, Non. Sumpah, gue masih sering mikir Bang Ian salah nikahin kita. Kita belum wajib nikah. Dengan semua isi kepala gue, gue masih bisa banget kendaliin s*l*ngk*ng*n gue."
Non diam.
"Gue mau kita ngontrak rumah. Tapi di mana? Lu kuliah di Jakarta, gue di Bogor. Cuma bisa ketemu weekend aja. Itu juga kita malah sibuk kerja."
"Lalu ngapain ngontrak? Kan kita sudah sepakat, kita nikah gantung aja."
"Non, gue butuh kita mendekat buat ngerapiin isi kepala gue."
"Apa harus tinggal serumah? Toh begini aja kita baik-baik aja kan? Seminggu ini kita bisa lebih dekat kan?"
Tristan terdiam.
"Non, ini ego cowok gue. Gue cowok, gue suami. Lu tuh tanggung jawab gue sekarang. Tapi mana? Trisha aja sudah bikin ego gue hancur. Gue jilat ludah sendiri. Gue mau ambil Trisha tapi gue tetap pakai uang bokap buat biayain dia. Sekarang lu. Lu istri gue, tapi lu tinggal di mana, gue di mana dan gue nggak ada ide untuk kasih uang belanja ke lu. Jangankan uang belanja, kasih uang jajan aja gue nggak mampu."
Tristan mengakhiri kalimat panjangnya dengan napas terengah. Bukan, bukan kalimat panjang itu yang membuatnya sesak napas. Tapi ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang menjadi tanggung jawabnya membuat egonya terkoyak. Dan itu membuatnya sakit. Sesak.
Mengetahui itu, Non langsung menarik kepala Tristan ke pelukannya.
"Trist, jangan mikir begitu."
"Non, tadinya gue mau kasih uang tabungan gue. Tapi, Non, hasil kerja kita beneran cuma cukup buat operasional aja. Gue harus hemat kayak apa biar cukup buat bayar kos dan SPP. Kalau itu gue kasih ke lu, sama juga bohong kalau nanti gue harus minta lagi buat bayar kos dan SPP. Itu mah sama aja titip uang aja ke lu."
"Tristan...."
"Biaya kuliah lu kan gede banget. Trisha sama aja. Sumpah, gue nggak mampu biayain kalian berdua," suaranya makin berbisik dan Non tau, Tristan menahan isak di pelukannya.
"Lu nggak usah pikirin biaya kuliah gue. Gua mau coba cari beasiswa—"
"Lu akan makin gila kalau kejar beasiswa. Setiap orang dikasih waktu sama, Non. 24 jam aja sehari, tujuh hari seminggu. Dengan semua kesibukan lu, kapan waktunya lu belajar?" tanya Tristan.
"Makanya kemarin gue kan kerja."
"Ya cuma nutupin operasional aja kan? Sama kayak gue. Buat yang lain-lain nggak cukup."
"Mungkin Bang Ian ngerasa kalau gue berusaha nggak minta uang, jadi sekarang dia transfer langsung banyak banget, gue sampai kaget. Dia cuma bilang, kalau dia percaya gue bisa atur uang. Sebelum habis, bilang, biar dia cariin lagi. Ya gue nggak bisa bilang apa-apa. Lalu pas ada dana masuk lagi, gue tanya dong ke dia. Katanya itu dari Bang Ari. Gue nggak tau Bang Ian cerita ke Bang Ari atau gimana kok tau-tau dia transfer ke gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...