2011, Setelah Badai Mereda
BAGI Non, hidupnya berlari menyenangkan di tempatnya yang baru. Tak sampai setahun setelah kedatangannya, Fabian menepati janjinya. Non bisa kembali sekolah. Yang lebih menyenangkan lagi, akhirnya Fabian mengizinkan dia tinggal di rumahnya setelah ada gadis lain yang seberuntung dirinya.
Rumah yang dimaksud adalah tempat timggal adik angkat Fabian. Letaknya tak jauh dari rumah Pak Barjo. Tadinya di sana hanya ada Ando dan beberapa anak lelaki lain. Fabian, dan suami istri Barjo tidak mengizinkan Non tinggal di sana. Sampai akhirnya dia meminta izin pada Fabian untuk mengajak temannya tinggal di sana. Wini, tetangganya di rumah Nenek. Lalu sebuah kecelakaan membuat Fabian bertemu dengan Nia. Seorang istri yang lari dari suaminya. Ada tiga perempuan, Fabian akhirnya mengizinkan ketiganya tinggal di rumah itu. Apalagi sudah ada Nia yang Fabian percaya bisa menjadi orangtua di sana. Sangat tidak mungkin membiarkan mereka terus tinggal di rumah Pak Barjo.
Rumah itu rumah panggung, full dari kayu. Fabian membuat rumah itu untuk mengobati kerinduannya akan rumah kayu kecil di kampung halamannya, jauh di timur Indonesia. Rumah kayu tempat dia dibesarkan, dan dia ingin adik-adik angkatnya merasakan cinta yang sama seperti yang selalu dia rasakan di rumah orangtuanya.
Ketika wanita-wanita itu datang, di kolong rumah setinggi 2,5 meter itu dibuatkan kamar untuk para bujang. Non, Wini, dan Nia menempati kamar bekas bujang di atas. Rumah yang sangat sederhana. Tapi itulah surga dunia bagi anak-anak jalanan seperti Non dan Ando. Dua mereka menjadi pemimpin di sana. Nia yang paling senior sebagai pengawas. Fabian hanya sesekali datang. Pak Barjo dan istri menjadi orangtua terdekat mereka.
Rumah itu di kaki gunung. Rumah kayu kecil dengan lahan luas. Pak Barjo mengajarkan mereka mengisi lahan dengan tanaman yang bisa mereka manfaatkan. Buah dan sayur. Tanaman-tanaman itu membuat rumah semakin asri.
Inilah surga mereka.
***
"Ndo."
"Ya, Bang."
"Abang mikir, itu tanah kosong, tanemin aja yuk."
"Ayo." Beberapa suara di sana bersuara bersamaan. Membuat Fabian terkekeh.
Siang itu, meski cukup terik tapi hawa gunung mengantarkan kesejukan ke bawah kolong rumah. Di depan kamar para bujang ada dua balai-balai yang selalu menjadi tempat berkumpul mereka.
"Kira-kira bagusnya tanam apa ya?" tanya Fabian pada entah siapa. Tanah itu tanah yang baru dia beli. "Yang gampang-gampang aja."
"Wortel, kentang, selada, melon," tukas Non. "Itu kan tanahnya lumayan luas. Siapa tau ada lebihan, hasilnya bisa kita jual."
"Etdah. Dasar otak duit. Mulai juga belum, sudah main jual aja." Wini adalah orang yang paling kenal Non.
"Eh, kita itu harus mikir, usaha apa yang bisa menghasilkan duit."
"Betul." Fabian menjawab di sela kekehnya. "Abang aja ngajar, tapi masih jualan karena Abang cinta rupiah apalagi dollar dan euro."
"Jualan katanya?" Ando mendelik. "Itu perusahaan omzet gede tapi ngomong kayak orang jualan sayur di pasar."
"Ya kan memang jualan. Bisnis Abang itu jual barang, bukan jasa. Nah, pun jasa kan jualan juga."
"Tapi jangan semerendah itu juga lah, Bang, bilang jualan."
"Eh, kalau Abang nggak jualan, kalian makan dari mana?"
"Lah ya makanya, jangan semerendah itu. Sampai sekarang aja anak-anak di kampus nggak tau kalau dosennya miara orang sebanyak ini."
"Miara? Dikata kita kambing?" Nia datang membawa piring berisi penganan. Belum sempat piring itu landing di balai-balai, isinya langsung tandas. Pisang goreng. Membuat Nia berdecak. "Kalian itu, sisain kek abangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...