MALAM itu seakan tidak akan berakhir. Ini sudah menjelang subuh dan mereka masih sekacau ini. Terlalu banyak pikiran berkecamuk di masing-masing benak yang saling melilit tak tau di mana ujungnya.
"Sudah, Ian. Istirahat dulu aja. Biarin Tristan sendirian dulu." Akhirnya ada suara lain yang terdengar selain suara Fabian dan Tristan.
"Kepala aku sakit, Rey."
Semua berjengit mendengar itu, terlebih Rey.
"Ayo, Ian. Kamu harus istirahat." Dia menarik tangan lelakinya yang hanya bisa pasrah menurut saja dibawa ke mana.
Lagi-lagi Fabian melangkah tertatih dalam rengkuhan perempuannya diiringi tatapan mata yang lain yang seletih mereka.Ucapan-ucapan Fabian membuat semuanya makin terasa berat. Helaan napas terdengar silih berganti di kepekatan langit tergelap.
Sebentar lagi fajar.
Di dalam kamar, Fabian membanting tubuh ke ranjang sambil menghela napas dan mengacak wajah kasar lalu menyandarkan lengannya yang menutup wajah di lutut.
"Ian...."
"I'm fine, Sweetheart." Lirih, terdengar menyakitkan di telinga Rey. "Aku cuma kasihan sama Tristan."
Rey mengusap punggung Fabian dengan tekanan yang nyata.
"Paling nggak ada Ian yang temani dia." Tangannya naik membelai rambut lelakinya.
"Semua temani dia kok."
"Tapi yang dianggap abang kan Ian. Yang dituakan kan Ian."
"Nggak usah ditegaskan gitu juga kali, Rey." Wajahnya bergerak menoleh ke arah Rey dan melirik tajam. "Iya, aku yang paling tua."
Fabian yang merajuk membuat Rey terkekeh lalu mengecup pelipis lelakinya.
"Makin tua makin ganteng kok."
"Ck." Dia berdecak tapi diikuti kekeh renyah. Tapi tak lama, kekeh itu berhenti berganti senyum lembut yang meluluhkan.
"Makasih ya, Rey." Ucapan tulus untuk mengungkapkan kata hati terdalamnya. "Kamu selalu ada untuk aku."
Senyum itu berbalas dengan ketulusan yang sama dan genggaman erat terasa di tangannya. Lalu perlahan Rey bergerak memeluk lelakinya.
"Ian yang kuat ya." Dan tersaruk di dadanya. "Nggak cuma Rey yang bergantung sama Ian. Banyak yang bersandar ke Ian." Dia memeluk semakin kuat. Merasai beratnya beban yang harus ditanggung lelakinya.
"Temani saja aku, Rey." Pelukan mereka saling berbalas, menguatkan.
Di puncak kegelapan malam, bersama dingin yang menggigit dan duka yang meradang, keduanya seakan menguatkan kembali ikatan pernikahan mereka. Membisikan pada alam yang melangitkan semua mau kepada pencipta.
"Rey...."
"Ya...." Mereka masih berpelukan.
"Tadi aku tampar Tristan."
"Tristan pasti ngerti." Akhirnya Rey melepas pelukannya. Urusan seperti ini adalah hal yang sensitif bagi Fabian. Tidak cukup mendengar, dia harus melihat.
"Nggak dihitung waktu aku masih bocah yang nakal dan sering bikin rusuh, setelah dewasa, baru kali ini aku pukul orang, Rey."
"Kalau Ian nggak pukul, Tristan bakal lanjut ngamuknya."
"Tapi aku masih bisa tahan dia kan..."
Rey menggeleng cepat. "Kalian sudah sama-sama kecapean. Sudah nggak ada tenaga buat teriak sambil tarik-tarikan daster kayak emak-emak berantam lalu jambak-jambakan. Sudahlah, urusan lelaki diselesaikan dengan cara lelaki. Beres."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
Любовные романыNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...