54, Sekarang Juga

151 52 25
                                    

ADA hal yang sangat penting yang membuat Fabian harus meninggalkan Rey di ujung pekan. Ada yang harus Rey kerjakan yang membuat dia tidak bisa menemani Fabian pulang. Membuat Fabian berjanji akan menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Kepulangannya ini pun setelah dia mengumpulkan beberapa pekerjaan yang masih bisa dia tunda lalu bertemu hal penting yang tidak bisa ditunda lagi.

Nyaris tanpa istiranat yang cukup Fabian langsung menyelesaikan semua urusannya di Jakarta. Mengejar waktu kembali ke Paris dan mengunjungi rumah adik-adiknya.

Hari sudah malam ketika Ari mengantar Fabian ke rumah itu. Waktunya tidak banyak. Jika tidak sangat penting, Fabian tentu tidak memaksakan diri pulang ke Indonesia meninggalkan Rey dan urusan lain di Paris.

Mereka sampai di rumah saat jam menunjukkan sudah lewat pukul sembilan malam. Sudah jam malam, seharusnya alarm sudah aktif tapi sebelum Ari membunyikan klakson memanggil penghuni rumah, kepala Heri muncul dari jendela di kamar atas. Melihat Fabian dan Ari, Heri meluncur turun. Mendengar suara pagar dibuka dan mobil menderu masuk, beberapa kepala muncul dari balik jendela kamar gadis.

"BANG IAAANNN..." Suara berteriak terdengar dari beberapa titik. Membuat Fabian terkekeh sambil menunggu suara gedebak-gedebuk mendatanginya.

"Bang Ian apa kabar?" Adik-adiknya berebut menyalimi tangan Fabian dan Ari.

"Alhamdulillah, sehat. Kalian apa kabar?"

"Alhamdulillah, sehat, Bang." Dadang mewakili yang lain. "Abang nginap sini?" tembaknya langsung.

"Umm... boleh. Teh Rey nggak bisa ikut. Abang jadi jomlo deh. Jadi bebas tidur di mana aja."

Yang lain terbahak lepas. Kalau benar Fabian menginap di rumah itu malam ini, maka ini adalah kali pertama dia menginap di sana setelah menikah.

"Iya, Bang. Cobain rumah baru."

Fabian tergelak. Dia bahkan belum pernah melihat rumah itu. Dia hanya menerima laporan progres pembangunan berupa foto dan video. Dia lalu menoleh untuk melihat bangunan di atas garasi. Area bujang. Akhirnya batas antara gadis dan bujang semakin jelas. Selama ini dia memercayai adik-adiknya, tapi siapa yang tahu di kemudian hari ada apa. Apalagi sejak Nia tinggal di rumah Rey, tidak ada yang cukup dituakan di rumah ini. Ditambah Non yang kuliah di Jakarta, semakin membuatnya bingung.

"Mana Ando?" tanya Fabian.

"Dari pagi belum pulang, Bang. Paling di lab."

Mereka masih berdiri di area antara rumah dan garasi.

"Ooh..." Fabian memaklumi kesibukan mahasiswa yang sedang menyusun tesis. "Tristan sering ke sini?" tanyanya lagi.

"Eh?" Wini melongok mencari. "Tadi mah di kolong sama si Non. Non belum naik, seharusnya masih ada Tristan di sini."

"Non ada?"

"Ada, Bang. Tadi sore pulang sama Bang Trist. Kayak biasa aja."

Fabian menaikkan sebelah alis.

"Mereka sering berdua?"

"Perasaan asal ngelihat mereka ya berdua mulu malah." Dadang menjawab sambil berpikir mengingat-ingat.

Kernyitan di dahi Fabian makin dalam

"Sekarang orangnya mana?" tanyanya lagi.

"Nggak tau, Bang. Nggak pamit keluar kok tadi. Jadi seharusnya masih ada di sini." Semua mata menatap berkeliling area. Mencari. Tapi memang kedua orang itu tidak ada.

Tak lama terdengar suara pagar dari arah kebun mengantar datang Ttistan dan Non yang melewati ambang pagar dengan tertawa-tawa renyah dengan cangkul di tangan masing-masing.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang