SEMENTARA Tristan sedang berjuang antara ego dan hasratnya dalam melayani gairah Non yang sulit dibendung, teman-temannya gelisah berkumpul di ruang tengah rumah Rey. Sudah nyaris tengah hari dan tidak ada kabar dari Tristan. Ando bahkan mengkhususkan datang dari Lampung.
"Ari habis meeting siang ini langsung pulang. Yang siang dia reschedule. Jam tigaan mungkin sampai di sini. Aa stand by di Connecticut. Tapi kata Bang Ian mudah-mudahan Aa nggak perlu buru-buru pulang. Kejauhan apalagi kalau harus bolak balik. Dia sendiri nggak bisa tinggalin Rey. Rey dirawat lagi, harus infus. Ngidamnya makin parah, nggak bisa makan sama sekali." Seto membacakan kesimpulan kabar di grup pada Nia.
"Lha sekarang orangnya manaaaa?" Dewa berkata dengan gigi rapat. Sungguh tidak mengerti dengan ulah Tristan. "Tadi pagi dia ngomong apa sih?"
"Ya dia cuma ngomong begitu aja, B*ngs*t." Kesal dengan pertanyaan berulang Dewa. "Dia ada urusan dulu. Tapi kita disuruh cari info soal Trisha." Seto menjawab sambil menggerutu.
"Artinya dia bukan cari info Trisha," ungkap Ando.
"Kita cari di mana? Belum 24 jam. Lapor polisi nggak bakal ditanggepin kalau nggak ada bukti. Bukti di HP si Tristan semua. As*!" Seto makin kesal mengingat rekaman telepon dengan Non sangat bisa dijadikan bukti pada polisi agar mempercepat pencarian Trisha.
"Eh, lu ingat cerita Dinda nggak?" tanya Dewa. "Yang pas Bang Ian nyari donor buat dia. Ada yang bantuin nyari."
"Bang Joe? Kenapa?"
"Bang Ian cepat dapat donor karena dia minta bantuan Bang Joe yang bisa ngerahin anak buahnya nyari donor."
"Lalu?"
"Kita minta Bang Ian hubungi temannya itu, biar dia yang cari info." Dewa merasa usulnya sudah sangat brilian.
"Eh, kadal kebon, sekarang apa yang dipakai siapa-pun-dia untuk cari info? Kita nggak pegang info sama sekali. Bahkan Non yang terakhir sama Trisha nggak tau sama sekali. Kita sudah minta sekolah buka rekaman CCTV buat lihat Trisha tapi nggak ada apa-apa."
"Nah, kita cari dari CCTV lain." Dewa berucap dengan bersemangat sekali.
"Aduh, Dewaaa... lu kan sudah tidur di mobil, sudah makan juga, cerdas dikit dong. Bang Joe itu preman, dia gimana bisa nyari rekaman CCTV. Bang Ian tuh butuh koneksi pejabat bukan preman."
"Eh, lu yang mikir pakai otak bukan pakai otong kisut. Kita yang cari, bahlul. Kita." Dewa menunjuk bergantian semua yang ada di sana.
"Cari ke mana, B*ngs***ddd..." Seto mendelik kesal. "Sampai pakai qolqolah gue biar lu mudeng dikit."
"Gelo sia, dosa mainin gituan."
"Lu memang perlu dirukyah."
"Eh, Seto. Kita yang cari. Kita." Dewa menunjuk lagi mereka semua. "Kita ikutin rute Non jalan, kalau ada rumah atau apa pun yang ada CCTV-nya, kita minta bukain. Kalau Non lewat kan pasti kerekam tuh."
Seto langsung mengeplak sadis kepala Dewa dan langsung berdiri. Ando pun sama. Namun Dewa mendelik marah.
"Kali ini lu cerdas, Dew. Ayo jalan." Seto sudah menarik tangan Dewa dengan sadis.
"B*g* lagi gue lu keplak gitu."
"Nanti gue toyor biar pinteran."
"Lu tarik tu makian pakai qolqolah. Gituan dipakai becanda sih."
"Iya, iya, maaf, nggak lagi-lagi. Lu bawel kayak Bang Ian."
"Pakai dua mobil nggak nih?"
"Nggak usah. Semalam pakai dua mobil kan incase satu bermasalah yang lain bisa gercep. Sekarang kita cuma cari info. Lagian kan mobil Bang Ian di Tristan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...