123, Is It True?

156 48 33
                                    

Maaaaafff... Lupa. Sibuk ngelonin Aa. Mayanlah, dapat 2k. Here you are. Happy reading. Tiga bab lagi yaa...

[][][][][][][][][][][]

SISA mereka berdua di balai-balai rumah. Trisha dan Bu Darmi sudah tidur setelah makan malam yang agak terlambat. Kali ini biarlah mereka melanggar aturan jam malam. Semoga yang lain mengerti. Mereka sungguh butuh tempat untuk berdua, entah untuk berbincang atau untuk hanya diam saja menikmati mereka apa adanya. Seperti sekarang. Berdua, tak ada yang mereka lakukan. Hanya diam menatap langit hitam. Bayangan gunung samar terlihat. Nyaris tengah malam, dingin makin menggigit. Tristan sudah menyelubungi Non dengan hoodie-nya.

"Trist...."

"Ya."

"Gimana tawaran Bu Tedjo?"

"Itu tadi nyata nggak sih? Apa aku cuma mimpi?" Dia menoleh ke arah Non dengan kening berkerut. "Apa tadi kita nyasar ke dunia lain?" Dia mengambil ponsel dan membuka aplikasi berkirim pesan. "Tadi aku share loc loh dari rumah itu."

"Kamu takut nyasar kalau ke sana lagi?"

"Nggak, aku mau suruh siapa kek ke sana. Make sure dia ketemu Bu Tedjo lalu pastiin pernah nawarin rumah ke Tristan dan Non."

Non tertawa lepas sekali sampai dia harus menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan sebelah telapak tangan agar suaranya sedikit teredam.

"Jadi kamu mau tinggal di sana?"

"Make sure dulu tawaran itu nyata."

Non mengambil ponsel itu lalu membuka aplikasi peta digital. Rumah yang tadi mereka datangi terlihat di sana.

"Tuh, ada kok rumahnya di gmap. Terdeteksi kamera 360º-nya google" Non masih sulit menghentikan gelak. Namun Tristan hanya diam sambil kembali menatap langit.

"Kenapa, Trist?" Non tahu ada yang membuat Tristan berpikir lagi.

"Dia titipin rumahnya ke kita. Tanggung jawab lagi." Bahunya melorot bersamaan dengan suara helaan napas berat. "Yang satu belum selesai, yang lain ada lagi."

Non tersenyum. Lelakinya memang seperti itu.

"Trist, itu cuma rumah, benda mati. Bisa hidup kalau ada yang tinggalin. Itu yang diminta Bu Tedjo. Dia mau rumahnya hidup dengan ruh kita yang menurut dia orang baik. Dia menilai dari kekompakan kita, saling sayang kita, bahkan dari kecepatan kamu ke masjid pas dengar adzan. Sesingkat itu dia bisa ambil banyak point untuk menyimpulkan orang seperti apa kita cuma demi rumahnya diisi ruh yang hidup dalam kebaikan."

"Yang aku takutin tuh banyak, Non. Kalau ada yang rusak gimana? Kalau kerusakan minor kita bisa benerin, kalau kerusakan besar? Masa kita suruh Bu Tedjo benerin rumahnya."

"Lha, ya kalau ngontrak kan memang gitu."

"Tapi kan kita nggak ngontrak di sana."

"Tapi tadi kan kita nanti bayar kontrakan."

"Tapi kan terserah kita bayar berapa. Ya tau diri aja. Kalau nggak bayar banyak jangan minta macam-macam. Kalau kita nggak bayar normal, tetap aja kita numpang dalam artian kita—"

"Dapat belas kasihan orang? Dibantu orang?"

Tristan diam.

"Trist, manusia selalu dikasih masalah. Selesai satu, muncul yang lain. Masalah itu seperti garis naik turun di EKG. Garis itu yang jadi penanda orang masih hidup. Karena kalau nggak ada masalah, artinya hidupnya flat, datar, garisnya lurus, mati dong. Dan mendapat tanggung jawab itu bagian dari hidup, bagian dari masalah. Mau nggak mau diterima, dihadapi, dan dijalani," cerocos Non panjang lebar.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang