17, Muak

196 55 72
                                    

SEPERTI yang sudah mereka duga, karang penghalang itu berjenis orangtua. Fabian sadar, malam itu memang dia berhasil menyelamatkan Tristan, tapi orangtua Tristan pasti tidak akan tinggal diam. Meski kepalanya terasa penuh, dia selalu bersiap menerima kehadiran tamu tak diundang. Sampai beberapa hari kemudian dugaannya benar terjadi. Dengan kepala berdenyut dia datangi orang itu.

"Mana Tristan?" Lelaki mendekati paruh baya itu bertanya sinis.

Aura konfrontasi langsung menyengat. Wajah kaku itu berbalas wajah datar Fabian yang kali ini total tanpa senyum ramahnya. Dia langsung membangun tembok tinggi untuk melindungi semua yang bisa dia selamatkan.

"Dia ada di kelas saya tadi pagi. Tapi sekarang saya tidak tahu dia ada di mana." Tatapannya menegaskan itu. Dia benar tidak tahu di mana Tristan dan berharap anak itu tidak muncul.

"Bohong." Tegas dan yakin.

"Silakan Bapak cari."

Dua orang berhadap-hadapan itu segera menjadi pusat perhatian. Mahasiswa berdiri di sepanjang jarak aman. Berita cepat menyebar, Tristan berlari mencari pusat kemuakannya.

"Kamu meracuni anak saya." Lelaki itu mendesis lagi dengan tatapan menusuk yang siap membunuh.

"Dia sudah dewasa, bisa mengambil keputusannya sendiri." Tak ingin terintimidasi, Fabian membalas tatapan itu dengan sama menusuknya. Dia mendengar bunyi langkah kasar sesekali mendecit mendekat ke arahnya.

Oh, no...

Not now, Trist...

Saat itulah Tristan mendekat. Masih terengah sisa berlari dan menahan emosi. Gerak kasar langkahnya membuat beberapa butir kerikil terlepas dari tanah. Dia langsung berdiri menempatkan posisi di sisi Fabian.

"Kamu tidak mengusir saya?" ujar Trisnayuda yang langsung memancing emosi anaknya.

Gerak samar mendekat terasa oleh Fabian. Refleks tangannya bergerak terangkat terentang menahan laju gerakan dari arah belakang.

"Ini kampus, fasilitas umum, semua berhak asal tidak mengganggu yang lain."

PLAK!

Mata Tristan mendelik sempurna lalu tanpa bisa dicegah lagi, dia langsung menghempas tangan yang menahannya dan menerjang maju.

"Tahan!" perintah Fabian menahan gerakan mengamuk Tristan. Dia menarik Tristan kembali ke belakang punggungnya.  Tapi Tristan terus berontak hendak melepaskan diri.

"Nggak bisa, Bang! Dia nampar lu kayak gitu!" Napasnya menderu matanya nyalang menatap ke arah orang yang dia panggil papa.

"Tahan," bentak Fabian tetap berusaha menahan gerakan Tristan. "Hormati orangtua lu."

Tapi kalimat itu justru menjadi pemantik emosinya. Dia langsung mengamuk tak peduli tangan siapa dia entak untuk melepaskan diri. Kali ini Fabian tidak bisa menahan gerakan Tristan lagi. Yang bisa dia lakukan hanya berusaha menahan agar Tristan tidak berlaku anarkis ke tubuh orangtuanya. Dia total  bersiaga menahan Tristan tidak mendekat ke arah papanya.

"Gua nggak ngerasa punya orangtua! Selama ini gua tumbuh sendirian." Tristan meradang balas membentak Fabian dengan tatapan tajam penuh kesakitan. Tatapan yang membuat Fabian kehilangan kata dan daya. Dan tanpa bisa dicegah lagi, Tristan maju mendekat ke ayahnya dalam tatap kesakitan Fabian yang melemah.

Beberapa detik, Tristan hanya diam berdiri menantang ayahnya. Tatapan marahnya tajam menusuk langsung ke bola mata papanya. Napasnya menderu kasar. Marahnya tidak bisa mereda dengan hanya diam menatap saja. Tangannya bergerak mengambil dompet, mengacungkan dompet tersebut di depan wajah ayahnya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang