"KENAPA lu, Trist?" tanya Non sambil meletakkan bawaannya ke balai-balai. "Muka lu lecek amat."
"Trisha ngambek."
"Kenapa?"
"Karena gue datang kesiangan."
Non tertawa renyah.
"Nggak apa-apa, nanti sebentar juga nempel lagi tu anak." Tangannya mulai sibuk bergerak membersihkan sayur. "Memang dia nanyain lu mulu sih."
Tristan masih ingin melamun tapi dia tahu bahwa semua harus bekerja di sini. Dia mengambil setangkai bayam dari keranjang lalu memperhatikan gerakan Non menyiangi daun itu kemudian tangannya ikut bekerja meski isi kepalanya entah ada di mana. Mereka bekerja dalam diam. Tentu gerakan tangan Tristan tidak bisa dibandingkan kecepatan tangan Non. Namun biarlah, yang penting ada yang dia kerjakan.
Masih ada sedikit bayam ketika tangan Non bergerak mengambil wortel.
"Nanti mau masak apa?" tanya Tristan berbasa-basi.
"Sayur bening aja. Ini ada terong gue mau balado buat ganti lauk. Cemilannya terong krispi."
Tristan tersenyum. Gadis super. Semua bisa dia atur. Dia makin merasa sampah. Tidak berarti apa-apa dibanding gadis serba bisa seperti Non.
"Kalau kayak gini, apa yang kalian beli dong? Semua ada dari kebun."
"Paling bumbu-bumbu aja sih. Lumayan berkurang banyak pas kebun menghasilkan. Apalagi pas Dadang piara ternak. Bang Ian senang banget lihat kami bisa makin mandiri."
Keduanya tersenyum.
"Kalau butuh uang kalian minta apa gimana?"
"Jarang minta. Bang Ian yang ngerti aja. Kalau pas awal semester dia akan kirim buat urusan sekolah. Kalau bulanan ya buat belanja bulanan. Sampai akhirnya gue bilang stop dulu transfer karena sudah lumayan numpuk berkat hasil kebun. Nah, dari situ, lebihan uang belanja, kan bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain. Makanya makin jarang minta."
"Semua lu yang urus?"
"Dulu Bang Ando. Pas cewek-cewek tinggal di sini ya Bang Ando kasih ke gue."
"Mbak Nia?"
"Dia nggak mau pegang uang. Dia itu penakut banget. Pegang uang takut, pergi ke mana-mana takut."
"Tapi kok bisa kabur?"
"Ya itu saking dia sudah nggak tahan lagi. Dia kabur, lalu ketakutan sampai sekarang. Nggak mau keluar rumah. Tapi kalau di rumah normal aja. Lama itu Bang Ian urusin dia."
"Urusin gimana?"
"Ya biar dia percaya sama kita-kita."
"Mbak Nia gimana ceritanya bisa ke sini?"
"Anak buah Bang Joe yang temuin dia di halte. Duduk berjam-jam nggak bergerak. Dideketin malah makin ketakutan. Bang Joe turun tangan makin jiper. Ya no wonder, Bang Joe dan kawan-kawan kan serem. Pas nggak mempan juga, dia panggil Ian. Lihat Bang Ian beda dari Bang Joe baru Mbak Nia mendingan. Akhirnya sama Bang Ian dibawa ke sini. Lama nggak mau cerita. Diam aja kayak patung. Baru deh Bang Ian izinin gue dan WIni ke sini buat temenin Mbak Nia."
"Itu awal mulanya cewek-cewek tinggal di sini juga?"
"Iya. Mbak Nia dibawa ke rumah Pak Barjo ketakutan kalau lihat banyak orang di warung makannya."
"Kalian apain Mbak Nia sampai bisa kayak sekarang?"
"Nggak diapa-apain. Ditemenin aja. Nggak dibiarin sendirian. Sampai akhirnya ketauan kalau Mbak Nia takut sama cowok. Yang cowok-cowok menjauh deh tuh, termasuk Bang Ian. Tapi sama Bang Ian tetap harus dibikin biasa aja. Nggak dijauhin banget. Pelan-pelan dideketinnya. Lihat respons tubuh Mbak Nia. Sampai akhirnya dia percaya, lalu bisa kayak sekarang. Cuma ya itu, dia nggak mau ketemu orang baru."
"Tapi waktu pertama ketemu gue, Seto, dan Dewa dia biasa aja tuh."
"Kan yang bawa Bang Ian. Dia percaya lah. Mbak Nia itu mirip Trisha. Kalau ketemu orang baru takut banget. Tapi kalau yang bawa lu dia lebih mudah percaya."
Sayur sudah selesai dibersihkan. Non berdiri.
"Kenapa nggak pindahin dapur ke bawah aja sih? Kan makannya di bawah. Biar nggak repot bolak-balik."
"Bikin dapur budget lagi dong."
"Kenapa kemarin pas bikin rumah nggak ada yang ingat bikin di bawah aja ya?" Tristan menerawang.
"Iya sih." Non terkekeh. "Tapi di atas sudah enak banget. Nggak apa-apa bolak-balik. Olahraga." Dia meninggalkan Tristan sendirian di balai-balai. Seandainya mereka membuat tempe lagi, apa bisa dia pegang menggantikan Non yang sudah officially sudah tidak tinggal di sini lagi?
Semua yang datang ke sini memiliki ceritanya masing-masing, termasuk dia dan Trisha. Mungkin karena itu mereka begitu terbuka menerima dia dan adiknya.
***
Makan selalu menjadi bagian yang menyenangkan di sini. Apa pun menunya, semua akan berkumpul dan lahap. Sebuah rice cooker besar hadiah dari Angkasa sekarang menjadi penghuni tetap balai-balai. Sekarang tugas Heri sehari tiga kali memasak nasi. Rice cooker hadiah Aa sangat berguna. Tugas Dadang masih sama, supplyer bahan mentah dari kebun. Ando membersihkan, Wini memasak. Sisa yang lain sebagai petugas kebersihan. Membersihkan sisa masak dan makan, juga mencuci pakaian dan sekeliling rumah. Tapi tugas kebersihan lebih sering dikerjakan bersama.
Sudah makan siang, semua bergelimpangan di balai-balai. Tidur siang. Balai-balai semakin besar semakin nyaman menampung mereka semua. Bantal tiup plastik digunakan untuk menghindari kecelakaan tumpah makanan dan minuman. Ini sering terjadi mengingat betapa rusuhnya saat makan bersama. Ando menggantung beberapa hammock di tiang rumah. Semilir angin gunung semakin membuai.
Ya Tuhan... rumah ini nyaman sekali.
Menjelang sore, Tristan harus membangunkan Trisha. Waktunya kembali ke asrama. Merengek merajuk, gadis kecil itu selalu saja membuat drama di saat pulang. Namun frasa 'pulang langsung ke asrama' dapat membuat durasi drama lebih singkat.
Lepas ashar semua sudah siap. Trisha, Tristan, dan Non sudah rapi. Non tentu sudah menyiapkan menu makan malam dan lemari es lagi-lagi penuh makanan siap saji buatannya. Dia bahkan membekali Trisha penganan untuk dimakan bersama teman-teman sekamarnya. Trisha langsung memeluk Non seerat yang dia bisa. Ucapan terima kasihnya tak putus.
"Teman-teman Adek memang selalu bawa oleh-oleh dari rumah. Adek nggak pernah."
"Ooh... Teteh nggak tau. Nanti kalau Adek ke sini, ingetin Teteh ya. Nanti Teteh bikinin lagi. Adek suka terong krispinya?"
"Sukaaa.... Adek suka semua buatan Teteh."
Percakapan singkat yang membuat hati Tristan tercubit. Dia abai urusan itu. Ah, banyak hal yang terabaikan. Kasihan Trisha.
Apa anak itu menjadi korban egonya?
Tristan tidak tahu. Selama ini dia hanya fokus mengeluarkan Trisha dari rumah itu. Mungkin dia sudah harus mulai memikirkan hal lain.
Tentang hati?
Ah, itu hal pertama yang harus dia abaikan.
Seperti saat ini. Mereka sudah meninggalkan asrama Trisha. Di halte, mereka menunggu kendaraan umum. Tujuan Non jelas. Ke stasiun. Dia harus kembali ke rumah Bunda untuk memulai minggu esok hari. Namun tujuan Tristan tak jelas.
"Gue antar lu pulang apa nggak?" Akhirnya dia bertanya ketika angkot ke stasiun terlihat mendekat.
"Nggak usahlah. Kecuali lu ada urusan di Jakarta. Ada nggak?"
"Nggak ada."
"Ya sudah, ngapain ke rumah Bunda lalu langsung pulang lagi."
"Iya sih." Dia mengedikkan bahu. Ada rasa masih ingin bersama gadis itu. "Gue antar ke stasiun aja," ujarnya cepat ketika Non melambai menghentikan angkot. Itu jalan tengah terbaik. Non hanya tertawa kecil untuk menutupi senyum bahagianya.
Dia pun masih ingin berdua saja dengan pemuda itu.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...