SAMPAI di luar, Non langsung memeluk Mami dan Bu Darmi. Tergagap, dia menceritakan sempat melihat Tristan membuka mata.
"Weh, rezeki gue lihat langsung dong." Dewa menepuk dada. "Rezeki orang yang mau ngalah. Tadi lu pada rebutan duluan masuk, malah nggak lihat apa-apa."
"Kalian istirahat dulu saja semua." Papi bersuara. Yang lain tentu langsung menurut.
Non tentu tidak mau meninggalkan rumah sakit. Dia mengusir yang lain agar pulang tapi dia membiarkan mereka mengatur jadwal piket menemaninya. Jadwal pertama langsung Ando pegang. Bu Darmi langsung mengajukan diri untuk full menjaga Trisha.
Hari menjelang malam. Tiga hari di akhir pekan ini sangat menguras energi dan meluluhlantakkan perasaannya.
"Non..." Non hanya menolehkan wajah saja. Meski mata itu berbinar tapi tetap saja rona sayu dan kuyu kelelahan jelas terlihat. Lelah fisik dan lelah psikis dari pengalaman buruk tentu tidak bisa dihilangkan hanya dengan kabar keberhasilan operasi Tristan.
"Lu ke hotel aja ya. Istirahat di sana yang benar. Di sini lu nggak bisa tidur lempeng. Kasihan badan," usul Ando. Meski dia pun selelah Non, tapi Non lebih butuh beristirahat dengan senormal mungkin dibanding dirinya. Dia masih selalu bergidik jika membayangkan apa yang terjadi pada Non di tiga hari ini. Dan kesalnya, bayangan itu sulit hilang.
"Nggak ah, Bang. Gue di sini aja. Nanti Tristan nyariin."
"Kan jam besuk masih besok pagi. Sekarang lu nggak bisa masuk."
Dia tahu, Non memaksakan dirinya tetap tegar. Menekan semua yang dia rasa demi bisa tetap sadar dan waras. Non sama sekali belum mendapat perawatan medis.
"Kalau ada berita kan biar gue cepat tau, Bang."
"Berharap kita nggak dipanggil lagi deh, Non." Lagi-lagi dia bergidik. Mengingat pengalaman dini hari dipanggil masuk dan mendengarkan penjelasan dokter.
"Aamiin. Tapi gue nggak mau tinggalin Tristan dan Trisha, Bang."
"Kapan ya mereka bisa digabungin?" Sejak kabar baik dari ruang operasi datang mereka minus Non bergantian menemani Trisha. "Trisha nyariin kalian terus tuh."
"Kalau Tristan sudah di kamar perawatan."
"Kalau gitu sekarang lu temenin Trisha aja gih."
Non galau.
"Kasihan tu anak, biar gimana dia kan dekatnya sama lu. Lu temenin gih. Dia nanyain lu dan Tristan terus. Tristan kan di sini juga nggak bisa ditemenin." Ando berharap jika bersama Trisha Non lebih santai dan bisa tidur di ranjang yang sama dengan Trisha.
"Sudah, pergi sana."
"Kalau ada kabar langsung kasih tau gue ya."
"Lu pastiin aja HP lu nggak silent dan nggak lowbat."
Meski masih enggan, Non akhirnya berjalan meninggalkan Ando.
***
Dia membuka pintu sangat perlahan, tapi mendengar suara samar itu. Trisha langsung menoleh.
"Teteh...." Dia langsung merentangkan tangan.
Non bergegas menyambut pelukan itu. Keduanya sama-sama mengeluarkan semua energi yang mereka punya untuk memeluk erat. Trisha menyalurkan kerinduan dan ketakutannya. Non pun sama. Mengingat demi menyelamatkan gadis ini dan dirinya Tristan harus meletakkan sebelah kakinya di atas kubur. Kenangan buruk itu membuatnya semakin mengeratkan pelukan.
"Teteh kangen Adek." Non melepaskan pelukannya untuk melihat wajah pucat Trisha,
"Bang Tis mana, Teh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...