39, Sibuk

148 44 8
                                    

SEMENTARA itu, jauh dari pengawasannya, Fabian menitipkan Non pada Bunda. Gadis itu tentu semakin sibuk. Kuliah, bekerja, dan tetap berusaha mengurus adik-adiknya. Untunglah anak-anak itu begitu mandiri. Mereka tetap bisa mengurus diri sendiri dan kebun meski rumah belum rampung. Tanpa Non, mereka memasak ala kadarnya. Rumah memang berantakan, tapi masih bisa ditolerir. Ketika Non pulang, dia akan membuat penghuni rumah membersihkan semuanya termasuk mengajari mereka memasak masakan yang sederhana.

"Kamu nanti jadi ke Bogor, Non?" tanya Bunda ketika melihat Non sudah duduk rapi sambil bekerja dengan ponselnya.

"Jadi, Bund."

"Nggak packing di sini aja? Ian juga dulu di sini kok."

"Kan biasa juga di sini, Bund."

"Ya makanya, di sini aja. Kamu nggak hitung waktu di jalan apa? Kalau di sini kan hemat waktu."

"Saya harus ngurus adek-adek di sana, Bund. Kalau kelamaan nggak ditengokin kacau banget. Sekalian ke sana, sekalian packing. Nanti juga ada yang saya bawa ke sini sih, Bund. Barang stok kan belum ada yang order."

"Jadi ini mau ambil barang pesanan?"

"Iya, Bund. Mumpung ada waktu, kami mau cari-cari yang bisa dijadiin stok."

"Ya sudahlah kalau begitu." Wanita itu hanya bisa menarik napas saja. "Jaga kesehatan, kamu kurang istirahat deh kayaknya."

Non terkekeh.

"Sudah biasa begini kok, Bund. Tenang aja."

Jawaban yang membuat Bunda tersenyum.

"Kamu janjian sama Tristan di mana?"

"Dia ke sini dulu kok. Ada urusan dulu dekat sini. Ini sebentar lagi dia sampai." Mereka berbincang di teras, tempat Non menunggu Tristan.

Dan benar saja, tak lama yang dibicarakan muncul dan langsung menyalimi Bunda.

"Kamu ke sini naik apa?"

"CL, Bund," jawabnya sambil duduk di kursi kosong yang tersisa.

"Kok nggak bawa kendaraan? Bawa mobil aja gih. Ian juga dulu begitu kalau cari barang."

"Makasih, Bund. Nggak apa-apa naik CL aja. Kalau naik CL bisa istirahat di kereta. Bang Ian dulu juga kan kalau ke Bogor naik CL."

"Iya sih. Dia cuma pas cari barang aja bawa kendaraan karena dulu angkutan umum kacau banget."

"Kami pamit dulu ya, Bund." Non berpamit mewakili. "Non nginap di Bogor. Besok baru ke sini."

Hari memang masih pagi ketika mereka berpamit pada Bunda. Mereka berusaha secepat mungkin mengumpulkan barang di hari libur lalu segera mengirim pada pemesan.

Di dalam kereta, Non langsung membanting bokong ke kursi kosong. Ini hari memang hari Sabtu, tapi dua kursi kosong selalu berarti berkah pada penumpang. Non menyandaran kepala ke jendela kaca lalu menguap panjang.

"Lu ngantuk?"

"Capek banget. Tugas kuliah seabregh-abregh."

"Tidur deh. Mumpung dapat kursi, masih lama pula."

Non mengangguk sudah dengan mata terpejam. Tidur di angkutan umum adalah salah satu cara Non mengakali kesibukannya. Tak lama Tristan pun menyadari bahwa gadis di sampingnya sudah tidak ada. Terlalu lelah membuatnya cepat lelap meski tidur dalam posisi duduk.

Sendiri tanpa teman bicara, Tristan memilih membuka ponsel, memeriksa notifikasi, membalas pesan masuk, dan membuat status promosi. Dia tersenyum melihat setiap hari jumlah ibu jari yang masuk makin meningkat. Dia juga besyukur, banyak di antara pembelinya menjadi pelanggan dan memberikan referensi pada teman dan kenalannya yang lain. Mereka bahkan memberikan testimoni yang sangat berguna sebagai bahan promosi. Semua pesan berisi testimoni dia simpan dalam folder khusus dan status yang menyertakan akunnya dia simpan juga.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang