30, Pergi Lagi

150 53 34
                                    

MEREKA lebih banyak diam sepanjang jalan pulang. Meski ucapan-ucapan Non cukup bisa membuatnya lebih tenang, tapi tetap saja, meninggalkan Trisha sendiri di tempat yang baru membuatnya tidak nyaman. Rasa bersalah tetap ada. Sekuat apa pun dia berusaha meyakinkan semua akan baik-baik saja, tapi tetap, bayangan Trisha meringkuk sendirian di kasur kecilnya mengacaukan hatinya. Dan rindu ini... menyakitinya sangat.

Dia terus melajukan mobil menembus udara beku di antara mereka. Tak ada yang ingin dia katakan, otaknya terlalu penuh oleh sosok Trisha sehingga dia perlu memaksa dirinya agar tetap bisa berkonsentrasi penuh pada kemudi dan jalanan. Sampai akhirnya dia mengarahkan kemudi berbelok memasuki jalan ke rumah tujuannya baru dia merasa lebih tenang. Merasa yakin kesedihan, kerinduan, dan kekosongannya tidak membuatnya celaka.

Dari jarak beberapa puluh meter dia sudah bisa melihat pagar rumah yang kali ini terlihat terbuka lebar.

Oh, mungkin ada yang keluar rumah, ujarnya dalam hati. Meski sisi hatinya yang lain mengatakan untuk apa membuka pagar selebar itu jika hanya motor yang melewatinya. Namun keanehan itu langsung terjawab ketika di depan pagar dan dia sudah memutar kemudi untuk masuk ke wilayah halaman.

"SH*T!" makinya sambil memukul kemudi ketika mengenali mobil siapa yang menyambutnya di dalam.

Non hanya memejamkan mata sambil membanting punggungnya ke sandaran. Tristan sudah akan keluar mobil ketika Non menahan tangannya.

"Sabar."

"Ngapain dia di sini?"

"Lu mau cepat ngusir dia kan? Pindahin ni mobil. Jangan melintang di jalan kayak gini." Semoga jeda waktu memindahkan mobil bisa menenangkan Tristan.

"Ck."

"Trist."

"Ya?"

"Kendaliin diri lu ya."

"Paling nggak gue berharap dia masih bernyawa pas lewatin pagar."

"Tristan, kami sudah biasa dihina. Lu nggak usah terlalu ambil hati apa pun omongan bokap lu."

Akhirnya Tristan menjalankan kembali mobil menuju tempatnya. Lalu tanpa jeda lain dia langsung membuka pintu dan membantingnya kemudian dia berjalan dengan tatapan tak lekang pada ayahnya yang berdiri menantang di tengah halaman.

"Ada apa lagi, Pa?" tanyanya begitu mereka sudah berdiri berhadap-hadapan.

"Tempat apa ini?"

"Ini rumah kami."

"Ini rumah penampungan anak jalanan."

"So what?"

"Nggak bisa kamu nggak bikin malu orangtua?"

"Nggak bisa yang orangtua nggak bikin kesal anak?"

"Kamu—"

"Apa? Mau nampar lagi? Silakan. Saya sudah kebal." Dia mendengus. "Kalau cuma bisa main tangan, apa bedanya sama preman pasar. Bikin malu."

Ayahnya makin mendelik dan meradang.

"Pulang kamu, Tristan!"

"Nggak mau. Apalagi Trisha sudah di asrama. Saya ke sana cuma karena Trisha."

"Paling nggak kamu jangan tinggal sama anak jalanan!"

"Sama siapa? Preman pasar? Apa bedanya kalau gitu tinggal dengan Papa? Pemakai? Saya pernah berbulan-bulan di panti rehabilitasi."

Terlihat jelas ayahnya marah mendengar semua ucapan Tristan. Tapi bukankah dia selalu marah pada anaknya? Lalu kenapa harus dipedulikan?

"Pa, mending Papa pergi sekarang."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang