51, Hanya Teman

160 47 35
                                    

WAKTU yang berlalu ditemani kesibukan yang bertumpuk membuat mereka lebih banyak membahas yang berhubungan dengan pekerjaan dan kehidupan di rumah saja. Urusan hati makin terselip di ceruk terdalam jurang hati. Terabaikan oleh rasa lain yang mencuat digdaya tak bisa dihalau oleh keinginan setiap mereka. Mereka memang rutin bertemu dan nama masing-masing mereka tetap berada di layar utama aplikasi berkirim pesan tapi hanya sebatas itu saja. Tidak lebih.

Apa mereka berharap lebih?

Setiap kali rasa itu datang selalu ada saja alasan untuk menenggelamkannya. Memikirkan hal itu membuat hati lebih mengganjal, baik mereka mengubur dalam-dalam semua rasa itu. Dan sebulan pun berlalu. Berdua, selalu bersama, tapi seperti rel kereta. Berdekatan, selalu beriringan tapi tak pernah bertemu.

Malam itu, malam yang biasa menjadi malam panjang bagi yang berkencan, lagi-lagi mereka habiskan dengan bekerja. Kali ini waktu berpihak pada mereka. Masih cukup sore ketika Tristan mengangkat wadah berisi paket yang telah rapi dibungkus ke ruang tamu di atas. Lepas semua urusan pekerjaan selesai, seperti biasa mereka akan melepas lelah dengan duduk santai di bawah rumah.

Tempat itu tentu masih ramai. Apalagi malam panjang berarti waktu ekstra di luar rumah. Bulan bulat purnama sempurna. Langit cerah tanpa terhalang awan sejumput pun. Mereka mematikan lampu untuk menikmati cahaya bulan. Jagung bakar, ubi rebus, dan jahe susu. Mereka menggelar tikar di tengah halaman. Yang kecil asyik berlarian, yang besar membakar jagung dan mengawasi adik-adiknya. Mungkin pesta itu yang membuat mereka bekerja lebih cepat. Mereka ingin segera bergabung.

"Ini masih mau jagung lagi nggak?" tanya Ando yang membakar jagung.

"Kayaknya sudah cukup deh, Bang. Nanti nggak kemakan." Non menjawab. "Eh, kirim ke Pak Barjo gih." Non langsung menata beberapa jagung di piring. "Her, anterin nih." Yang disuruh langsung bergerak.

"Anterin, Mbak Nia gih," usul Ando tiba-tiba. "Trist, anterin gih."

"Eh, kalau mau ke Mbak Nia mending sekalian bawain sayuran." Non berkata cepat.

"Sekalian bawain bahan mentah aja, biar dia masakin," sambar WIni cepat.

"Lalu kapan diambilnya?" tanya Tristan.

"Ya kalau sudah selesai dia masak. Nanti siapa kek ke sana ambilin. Lu kan juga bisa ke sana lagi."

"Ya sudah, mana deh yang mau dibawa?"

Non bergerak cepat menyiapkan semuanya. Termasuk Dadang yang langsung menjala ikan.

"Lu ikut aja, Non," perintah Ando. "Jangan sampai si Tristan dikira dari pasar." Non mengangguk dan tak lama mereka berangkat.

Nia tentu sangat senang atas kedatangan mereka. Dia hanya tinggal berdua dengan ART yang Fabian cari untuk menemani Nia.

"Kalian nginap di sini aja ya." Mereka sudah duduk di meja makan menemani Nia menikmati jagung bakar.

"Lu mau nginap, Non?" tanya Tristan. "Kalau mau, besok gue jemput."

"Eh, kamu nginap juga aja, Trist. Kalau bisa, besok bawain mobil Bang Ian ke bengkel. Bang Ari bisanya minggu depan. Ganti oli aja sih."

Tristan mengangguk.

"Ya sudah, Mbak bilang ke Ando kalian nginap di sini ya."

***

Begitulah kisahnya sampai malam itu mereka bisa ada di tempat yang sama tanpa terikat jam malam. Saat Nia sudah mengantuk berpamit ke kamar, dua mereka masih santai di ruang tengah menonton TV.

"Aduh, gue kudet banget deh, Trist. Awkarin itu siapa sih?"

Mereka sedang menonton acara ghibah on TV.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang