KEDUANYA terbuai dengan kedekatan mereka yang baru. Saling memagut menikmati rasa yang lain dengan indra yang baru kali ini mereka gunakan untuk saling merasai. Kedekatan itu semakin intens membuat mereka lupa bernapas. Ketika tautan itu terpisah, mereka terengah bersama dengan tatapan dipenuhi kabut. Lalu mereka kembali menyatu. Hasrat mereka semakin menggila ketika Tristan bergerak berdiri dan membiarkan Non tetap di pinggangnya sepanjang menuju kamar.
Tanpa memisahkan diri Tristan menjatuhkan tubuh ke ranjang. Non sudah telentang pasrah di bawahnya. Mereka masih kesulitan mengatur napas. Dan Tristan makin menggila ketika tangan Non bergelayut di lehernya. Bibir-bibir itu memang tidak membosankan, tapi mereka ingin mencecap rasa yang lain dari tubuh-tubuh mereka. Gerakan lentur bibir dan lidah menjelelajahi wajah, sepanjang garis rahang, turun terus memberi jejak di leher jenjang yang tercekat menahan ingin, berakhir di dada yang berdegub tak teratur. Tristan sudah bertelanjang dada.
Lenguh Non ketika Tristan tenggelam di dadanya semakin membuat ruangan itu panas. Membuat Tristan makin berani. Dengan bibir tetap bekerja tangannya bergerak ingin membebaskan sesuatu yang makin sesak di tengah tubuhnya.
"Non..."
"Hm."
"Lu siap?"
Non menggeleng tapi tetap membalas pagutan itu. Memberi jeda pada istrinya, Tristan berpindah ke garis rahang.
"Menjauh, Trist. Gue belum siap." Tapi sebelah tangannya tetap mengalung di leher Tristan sementara yang sebelah lagi membelai langsung punggung lelakinya.
"I can't..." desahnya.
"Please..."
Dengan berat hati Non mendorong lemah dada Tristan menjauh. Sesaat Tristan masih mengejar bagian apa pun dari tubuh wanitanya. Namun akhirnya dia bisa memberi jarak bagi mereka. Keduanya terengah mengatur napas dan meredakan hasrat. Tristan masih tertunduk di atas Non tersanggah lengannya. Keduanya berantakan.
Sampai satu titik Tristan dapat menormalkan napas, dia bergerak lebih menjauh. Namun pelukan Non menariknya kembali mendekat.
"Trist..." bisik Non di telinganya. "Sorry...." Dia masih terengah.
Tristan yang masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa balas memeluk wanitanya, mengelus punggungnya, menenangkannya.
"Shh..."
"Sorry."
"Its okay, Non. Its okay."
Dia mengurai pelukan itu, ada yang harus dia tanyakan sekarang juga. Sambil menunggu Non lebih tenang, Tristan merapikan baju istrinya yang berantakan akibat ulahnya.
"Kenapa, Non?" Akhirnya dia bertanya.
"Sorry, nggak seharusnya gue nolak lu."
"Nggak apa-apa. Kita kemarin sudah sepakat untuk santai aja kan? Gue yang minta maaf karena tadi gue yang mulai."
"Lu nggak salah. Gue yang salah karena nolak lu."
"Lu salah kalau nggak jelasin kenapa. Ingat, Non. Kita janji nggak ada yang kita umpetin kan?"
"Gue belum siap aja."
"Siap apa nih? Anak? Itu mah gue juga belum siap."
"Nggak, nggak. Bukan cuma itu."
"Lalu apa? Kalau gara-gara lu mikir batalin pernikahan ini, gue perkosa lu sekarang juga nih, mumpung masih panas."
Non yang sejak tadi berusaha menghindar menatap mata Tristan langsung, saat ini dia malah menatap lurus ke dalam bola mata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...