121, Rumah Pilihan Trisha

159 48 25
                                    

"EH, bukan, Dek. Ini bukan rumah kita. Abang belum dapat rumahnya." Tristan segera meralat prasangka adiknya. "Besok Abang cari lagi ya." Dia sudah berlutut dengan sebelah kaki di depan Trisha yang menatapnya dengan tatapan aneh.

"Lalu ngapain kita di sini?"

Tristan menoleh ke arah mobil. "Kita cuma numpang di rumah Ibu untuk ganti ban."

"Yah...." Suaranya memelas. "Kirain ini rumah baru kita." Bibirnya mencucu terlihat lucu tapi Tristan hanya membalas dengan senyum getir.

"Itu adiknya, Mas?" tanya si Ibu yang sejak tadi menemani mereka dengan duduk di pagar beton teras setinggi setengah paha.

"Eh, iya, Bu." Tristan langsung merapikan wajah. "Ayo, Dek, salim ke Ibu dulu." Tanpa membantah, Trisha melangkah dan mengambil tangan si Ibu untuk dia salimi.

"Namanya siapa, Cah Ayu?" tanya si Ibu sambil mengelus rambut Trisha.

"Trisha, Bu." Trisha menjawab sopan meski menunduk dengan wajah tertekuk.

"Oh, Trisha, namanya bagus ya."

"Itu abang saya, namanya Bang Tis. Itu teteh saya, namanya Teh Non. Itu ibu saya, namanya Bu Darmi." Trisha menjelaskan tanpa ditanya membuat si ibu terkekeh. "Kata Bang Tis, kita mau cari rumah. Tapi belum dapat."

"Memang rumah Trisha kenapa?"

"Trisha nggak mau tinggal di sana. Bang Tis juga."

"Kenapa?"

Trisha diam tidak menjawab malah kembali menundukkan wajah.

"Iya, Bu. Rumah kami di Bogor. Kami lagi cari kontrakan karena istri saya kuliahnya dekat sini."

Si Ibu menatap Tristan lebih lekat sampai berkerut kening.

"Rumah ini sih saya mau kontrakin."

Tristan langsung terkekeh. "Wah, saya nggak mampu bayarnya, Bu."

"Bang, kan Adek sudah bilang, celengan Adek buat Abang aja."

Dua orang dewasa yang mendengar itu tersenyum.

"Masih kurang, Dek."

"Bang, rumah papa ditukar sama rumah ini bisa nggak?" Dia menatap Tristan dengan wajah polosnya.

"Bu, rumah papa itu lebih besar dari rumah ini. Tukeran ya."

Lagi-lagi dua manusia dewasa di sana tertawa lepas. Meski begitu, Tristan tetap berkali-kali menoleh ke arah mobil. Dua perempuan itu akhirnya berhasil melepas semua baut. Tristan bergerak cepat dan mengambil alih melepas ban. Dua wanita keras kepala itu tetap memaksa memasang ban.

"Sudah, Non. Nggak bisa, aku aja." Kali ini Tristan tidak mau mengalah lagi. "Aku sudah sehat. Kamu nggak bisa masangnya. Repot masang ban berdua." Dia benar-benar mengusir Non menjauh. Bu Darmi sejak awal sudah menjauh mendekat ke Trisha.

"Tapi—"

"Nanti nggak usah terlalu kuat pasang bautnya. Asal bisa gelinding dulu aja ke bengkel atau tambal ban. Nanti mereka yang kencengin bautnya," jelas Tristan cepat. "Oke? Deal? Paling nggak kerjaan aku berkurang kan?"

Sebenarnya Non masih ingin membantah, tapi tatapan Tristan berkata dia tidak mau dibantah, akhirnya Non menyerah. Tristan memenuhi ucapannya, hanya memasang baut ala kadarnya saja. Ketika akan mengembalikan ban ke tempatnya, lagi-lagi Non dan Bu Darmi bergerak cepat membantu Tristan. Sebenarnya mengangkat satu ban bertiga justru merepotkan, tapi ya sudahlah. Tristan tidak mau terlalu ribut di depan orang baru. Namun orang baru yang dimaksud hanya tersenyum melihat mereka bekerja bertiga.

Selesai.

Saatnya berpamit.

Tapi....

"Ibu, mau ya tukeran rumah sama rumah papa. Rumahnya bagus kok. Gede. Ada tingkatnya. Halamannya luas. Garasinya juga luas. Mobil Papa kan banyak." Tangannya bergerak-gerak menggambarkan rumah itu.

"Adek..." Tristan berusaha menghentikan ocehan Trisha. Entah apa yang ada di kepala si Ibu sekarang.

"Maaf, Bu. Adek saya memang cerewet."

"Memang rumahnya kenapa, Mas? Kok adeknya nggak mau tinggal di sana?"

Tristan berpikir cepat. "Eng... Papa saya baru meninggal. Dia nggak mau tinggal di sana."

"Oh, Ibu turut berduka cita ya. Trisha masih sedih ya?"

"Nggak kok. Trisha nggak sedih. Adek takut di sana. Bang Tis juga nggak mau tinggal di sana. Bang Tis suka mimpi buruk kalau di sana."

"Eh? Ada hantunya?"

"Eh, maaf, Bu. Nggak begitu. Ini cuma...."

"Papa jahat. Suka marah-marah. Suka marahin Bang Tis. Suka ribut. Adek takut. Bang Tis nggak suka kalau Adek ketakutan di sana."

Aduhhh...

"Boleh ya, Bu, tukeran rumah."

"Bu, ajak Trisha main dulu." Ocehan Trisha harus dihentikan. Bu Darmi cepat menarik Trisha menjauh.

"Maaf, Bu."

"Yah, namanya juga anak-anak." Ibu pemilik rumah berusaha memaklumi kelakuan Trisha dan tidak enak hati Tristan. "Tapi saya serius mau ngontrakin rumah ini."

"Saya mau banget sih, tapi saya serius nggak mampu bayarnya, Bu."

"Sebenarnya, harga nggak terlalu masalah buat saya. Saya cuma butuh orang yang bisa ngerawat rumah saya ini."

"Hah?" Kali ini Non yang bersuara.

"Suami saya sudah meninggal empat tahun lalu. Sejak itu saya sendirian tinggal di sini. Anak saya cuma satu. Dia mau saya ikut dia. Saya sih mau aja. Tapi dia ikut suami ke Bosnia. Saya nggak bisa bolak balik kayak dari sini ke Bekasi dong."

"Lalu?"

"Saya pernah tinggal di sana dua bulan. Kayaknya saya bisa deh tinggal di sana. Iya sih, pas winter dingin, tapi saya bisa tuh bertahan."

Sejurus, dia terdiam.

"Saya cuma nggak bisa ninggalin rumah ini aja. Rumah ini dari kakek saya. Saya nggak mau lepas. Kalau saya pergi siapa yang urus? Anak saya nggak tenang kalau saya sendirian di sini. Takut kenapa-kenapa. Saya nggak mau anak kepikiran terus."

"Oh..."

"Dulu saya tinggalin dua bulan, walaupun ada yang bersihin, tetap aja pas saya balik rasanya beda. Kali ini, saya mau ada yang tinggal di sini. Jagain rumah. Nah, dari tadi saya lihat-lihat, kalian kok kayaknya kompak banget ya. Nggak tau kenapa tadi saya ngomong gitu. Kayaknya kalian bisa deh tinggal di sini seperti yang saya mau."

"Maksud Ibu?"

"Kayaknya kalian bisa ngurus rumah saya."

"Kok Ibu langsung bisa bilang gitu?" tanya Non cepat.

"Mbak dan mertua Mbak tuh khawatir banget sama masnya sampai mau ganti ban. Tapi masnya juga nggak mau ngebiarin kalian perempuan-perempuan yang ganti ban. Kok kompak ya? Kayaknya saling sayang gitu. Apalagi saya lihat Trisha dekat banget sama masnya. Dan masnya pun sayang banget sama Trisha. Anak kecil itu wali. Mereka jujur. Dan dari tadi saya lihat Trisha beneran sayang sama masnya. Dia sampai mau kasih celengannya loh."

Semua terdiam.

***

Bersambung

Lima bab lagi ending.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang