4, Impian

229 61 41
                                    

2011

TAPI bumi terus berputar. Dunia berlari bergerak maju. Kehidupan di dalamnya pun sama. Semua gerakan itu melibas apa pun yang tidak bisa mengikuti gerakannya. Seperti cerita dua anak manusia itu. Si gadis yang tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa lagi melainkan dirinya. Dan di lelaki yang memiliki nyaris semua yang bisa dunia tawarkan termasuk orang-orang yang tulus menerimanya.

Dunia memang sering terasa tidak adil.

Apa yang bisa seorang gadis seperti Non lalukan sekarang? Tak ada. Kecuali melanjutkan hidupnya yang terasa lebih berat karena kesendiriannya. Temannya memang banyak, tapi sahabat? Neneknya adalah sahabatnya. Ketiadaan waktu membuat dia nyaris tidak memiliki waktu untuk bersantai lalu bergaul. Temannya banyak tapi hanya untuk hiburan saja.

Sekarang, saat neneknya tidak ada lagi, fokus utama hidupnya adalah sekolah. Untuk itu dia kembali harus jungkir balik mengumpulkan uang. Dia mengamen, mengasong, memulung, dan me-, me-, lain yang bisa dia kerjakan.

***

"Non."

"Ya," jawabnya acuh sambil terus mengipas tubuhnya dengan topi lusuh. Dia sedang beristirahat di bawah pohon sedikit agak menjorok masuk dari tepi jalan.

"Lu mau lebih cepat dapat duit nggak kalau ngamen?" tanya seorang wanita yang sebenarnya masih cukup muda tapi kehidupan yang keras membuatnya terlihat lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya.

"Gimana caranya?" Non tentu langsung tertarik.

"Lu bawa aja bocah. Lu gendong. Ngamen deh. Dijamin orang-orang lebih gampang ngasih lu duit."

Non membuang napas kasar. Dia tahu trik ini tapi belum pernah mencobanya.

"Nggak ada cara lain, Mpok?"

"Ya ada sih. Tapi apa lu mau?"

"Apaan?"

"Malam-malam lu berdiri di jalan sono," dia menunjuk dengan dagunya, "Dandan yang cantik. Baju lu dikitin bahannya. Dijamin sebentar juga duit lu banyak."

"Gila aja lu, Mpok."

"Perawan-lu lu jual aja ngapa sih, Non." Dia berkata sesantai itu yang terdengar seperti ledakan bom di telinga Non. "Ngapain lu kasih gratis ke pacar. Mending lu duitin."

"Gue mau kasih ke laki gue lah, Mpok. Enak aja kasih ke pacar doang. Malu gue sama laki kalau sudah nggak segelan."

Perempuan yang dipanggil Mpok itu terbahak lepas sekali.

"Eh, Non. Kalau yang lu sebut laki dari kalangan kita-kita begini, ngga bakal dia peduli lu masih segelan apa nggak. Bagus lu dinikahin, kalau cuma dikawinin doang gimana?"

"Ya gue nggak mau lah, Mpok. Enak aja."

Dia terbahak makin keras. Sampai terlihat semua rongga mulutnya dan membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka.

"Non, Non. Ck." Dia berdecak. "Ngimpi lu kejauhan. Mending sebelum nyasar bangun deh cepetan."

"Mimpi gue apaan sih, Mpok? Gue cuma mau sekolah."

"Lah itu, urusan nikah dan kawin apa bukan mimpi?"

"Ah, itu mah nanti lah, Mpok. Kejauhan sekarang mah. Gue sekolah dulu. Kalau sudah sekolah, gue bisa kerja yang lebih baik. Di pabrik juga nggak apa-apa. Jadi pelayan juga nggak apa-apa. Nah, kalau gue kerja di sana kan gue nggak cuma ketemu orang-orang jalanan kayak sekarang."

Perempuan itu terbahak lagi.

"Bangun, Non. Jakarta masih macet, masih banjir. Kelelep iler lu nanti kelamaan molor."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang