MENYADARI ketidaknyamanan Non dengan tubuhnya, Tristan berusaha membantu Non bergegas ketika mereka terbirit ke mobil. Sedikit keryitan tak nyaman muncul tapi segera Non hilangkan dengan senyum ketika melihat wajah cemas Tristan.
"Kamu nggak usah ikut aja apa ya?"
"Aku nggak apa-apa kok." Tersenyum menenangkan hati.
"Bukan cuma soal perihnya, tapi kamu kan habis dibius lalu minum obat gila."
"Aku nggak akan lepas kamu sendirian ke sana, Tristan. Aku gilanya tadi, sekarang sudah waras."
Meski melayang tapi Tristan tetap cemas. Dia menggigiti bibir bawahnya.
"Aku nggak apa-apa, Trist. Aku biasa di jalanan."
"Used to."
"Masih ada sisa-sisa gaharnya yang cuma berhibernasi kok. Nanti aku panggil lagi ya."
"Perasaan aku nggak enak, Non."
"Wajar. Trisha belum ketauan di mana. Makanya, ayo ke sana."
Meski masih ada yang mengganjal di hati, akhirnya Tristan mengerakkan kemudi. Mereka mengabaikan perut-perut lapar mereka demi bisa sampai ke titik menunggu yang Tristan mau. Non langsung mengisi daya ponselnya.
"Trist, are you okay?"
"I'll try to be okay." Dia memijat pelipisnya dengan tangan yang tersandar di pintu. "Kalau lu mau dijadiin pekcun, Trisha mau diapain? Kenapa dipisah? Siapa mereka? Kenapa culik kalian berdua?" Akhirnya dia bisa menyuarakan isi hatinya yang nyaris 24 jam ini sangat mengganggu pikirannya.
"Mereka culik random aja kali, Trist. Nggak usah mikir macam-macam ya."
"Kenapa pas banget waktunya sama aku ngelihat ada yang ngikutin kita?"
"Kamu ngelihat di mana? Yang pertama kamu ngeh."
"Di basement apartemen. Pas kita ciuman sebelum ke pasar."
Non menarik napas.
"Dan dia ngikutin sampai Bogor."
"Belum tentu orang yang sama, Trist. Mungkin kamu cuma terlalu parno jadi gampang curiga."
"Aku takut, Non. Trisha masih kecil banget. Nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak pegang HP. Ngelawan? Seberapa sih anak sekecil dia bisa ngelawan? Sekali jebret juga mental."
Non tidak bisa berucap apa pun. Hanya bisa meremas bahu Tristan, menguatkannya.
"Non, aku nggak bisa bayangin kalau kamu minum air itu di sana. Kamu yang perkosa mereka, Non. Bukan mereka yang perkosa kamu. Tiga orang, santai banget mereka gantian." Tristan mencengkeram kemudi sampai berbuku putih. "Kalau kamu digituin, Trisha yang anak kecil mau diapain? Dikasih apa?"
Non mengerti ketakutan Tristan, tapi dia tidak mau mendengar apa yang nyaris saja terjadi pada dirinya. Itu bukan menakutkan. Itu... mengerikan. Meski dia sangat bersyukur ketakutannya tidak membuat keawasannya hilang, tapi tetap saja, jika Tristan terlambat datang....
Pikiran-pikiran itu membuatnya menegang. Tanpa sadar dia mencengkeram bahu Tristan sangat keras, membuat perhatian Tristan teralihkan.
"Non...?"
Menyadari wajah Non tegang, dia mempercepat laju mobil ketika dia melihat papan rest area satu kilo di depan.
"Non? Are you okay?" Ganti Tristan bertanya ketika nobil sudah aman terparkir.
"I'll try to be okay." Non mengatur napas. "Kita sama-sama kacau, Trist. Aku tahu kamu panik banget aku nyaris dikerjain kayak gitu. Sepanik aku yang ngalamin. Tapi kita harus concern ke Trisha sekarang." Non benar-benar berusaha fokus pada apa yang sekarang sangat jauh lebih penting meski tubuhnya masih menegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomansNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...