"ADA apa, Bang?" tanya Rey hati-hati.
Tristan mendesah berat sambil membanting punggungnya ke dinding. Tatapannya kosong menerawang. Lalu perlahan dia menceritakan semuanya. Tnnpa sadar, keenamnya sudah duduk di sudut melupakan kelas kedua. Saat ini yang terpenting adalah Tristan. Teman yang butuh teman.
Tidak ada suara lain. Mereka hanya mendengar saja. Setelah Tristan puas bersuara, mereka semua diam. Sampai ruang kosong di sekitar kampus kembali terisi sementara ruang kelas melompong ditinggal mahasiswa, mereka baru bergerak. Memaksa Tristan makan siang dulu sebelum menjemput Trisha. Lalu mereka menemani Tristan sampai ke tempat parkir.
"Rey, lu nanti cerita ke Bang Ian?" tanya Seto.
Rey hanya mengangguk.
"Kira-kira dia ngizinin nggak Tristan dan Trisha tinggal di rumah Angi?" Nadya bertanya dengan tatapan putus asa.
"Gue nggak tau. Mereka kan bukan anak jalanan. Mereka punya rumah punya orangtua."
"Tapi apa enaknya tinggal di rumah kayak gitu? Lagian Tristan terutama mikir adeknya kan."
"Sudah ah," putus Rey. "Gue pusing. Biarin aja nanti Ian yang mikir." Dia langsung berjalan ke arah kelas. Yang lain mengikut di belakangnya. Meski kali ini mereka tidak bolos, tapi kekosongan di kepala mereka tidak bisa diisi dengan materi kuliah. Mereka terlalu kosong untuk diisi.
Sementara temannya di kelas, Tristan memacu mobil ke sekolah Trisha. Dia sampai tepat waktu. Trisha baru keluar kelas dan siap dijemput. Melihat abangnya, wajahnya langsung bersinar dan dia berlari menghampiri Tristan lalu bergelayut di lehernya.
"Kita pulang, Bang?" tanyanya yang hanya dijawab gelengan saja. "Kita ke mana?"
"Nanti Adek lihat sendiri ya."
Trisha mengangguk bersemangat.
Dia diam saja ketika mobil masuk melewati pagar rumah Angi. Tetap diam ketika Tristan mengajaknya turun.
"Heri."
"Yaps?"
"Gue titip adek gue ya. Nanti sore gue ke sini lagi."
"Oke," jawab Heri tanpa banyak tanya.
"Dek." Tristan memegang bahu adiknya. Mereka sudah di balai-balai.
"Ya."
"Adek di sini dulu sama Bang Heri ya. Abang mau sekolah dulu. Nurut kata Bang Heri ya."
"Abang pergi?"
"Abang kan harus sekolah juga."
"Adek ikut Abang aja ke sekolah. Adek janji nggak nakal."
"Nggak bisa, Dek. Abang sibuk banget di sana."
"Adek janji nggak ganggu Abang."
"Trisha di sini aja sama Bang Heri ya. Nanti Abang ke sini lagi. Abang harus pergi sekarang." Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Dia harus segera pergi.
"Bang...." Trisha masih belum mau melepas kakaknya.
"Trisha mau sama Abang terus kan?"
Yang ditanya langsung mengangguk.
"Trisha dengar kata Abang. Kalau Abang bilang Trisha di sini sama Bang Heri, nurut aja ya."
Trisha menunduk lalu mengangguk.
"Anak pintar." Tristan mengacak-acak rambut adiknya.
"Her, gue ke kampus dulu." Dia memberikan tas berisi keperluan Trisha pada Heri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...