108, Mencari Solusi

243 46 50
                                    

"YA sudah kalau gitu." Telunjuk tangan Tristan terjulur hendak menyentuh ikon berwarna merah.

"Eh eh eh... Nggak sopan." Fabian masih menggerutu. "Jangan matiin."

"Ck. Maunya apa sih?"

"Maunya kalian jangan matiin HP, B*hl*l." Tangannya bergerak menoyor virtual. "Dari semalam diteleponin nggak diangkat. Telepon ke Bunda katanya nggak pulang."

"Ya kan sampeyan yang kasih info tu flat kosong." Tristan tahu, pasti Non sudah melaporkan sangat lengkap sampai kemarin info itu datang tanpa diminta. Haruskah dia menuntut privasi juga pada makhluk menjengkelkan di dalam layar itu?

"Nah, ada apa sampai butuh flat kosong? Terakhir infonya tu jeroan sakit. Kenapa nggak ke Bunda?" Menggerutu dan makin mengesalkan.

"Ck. Bawel banget sih."

"Kemarin jadinya gimana sama pengacara?" Fabian mengabaikan gerutu Tristan.

Mendesah, dia mendongak sambil menarik rambutnya dengan sebelah tangan.

"Rey mana?"

"Apaan, Bang?" Sebuah suara terdengar lalu muncul sebuah wajah di sudut layar.

"Sehat, Dek?" tanyanya sambil tersenyum ketika melihat wajah Rey muncul sedikit di sudut layar.

"Alhamdulillah."

"Waras?"

Rey terkekeh.

"Gila dikit."

"Memang susah sih tetap waras punya laki kayak gitu."

"Jangan ngalihin omongan, Trist."

"Pusing gue bahas itu, Bang," keluh Tristan.

"Ada apa?" Suara Fabian langsung berubah serius, tidak mengesalkan lagi. Jika sudah seperti ini, bisa dipastikan Tristan tidak bisa mengelak lagi.

Menarik napas panjang, Tristan berusaha merangkum semuanya dalam satu kalimat singkat. "Intinya, semua warisan Papa jatuh ke gue karena bonyok sudah cerai, nyokap sudah dapat gono-gini."

"Loh? Katanya baru mau cerai?"

"Ketok palu pas bokap ke rumkit."

"Lalu masalahnya apa? Dikasih warisan banyak malah muka lu kayak sempak basah nggak kena matahari gitu sih. Lecek. Apek."

"Hak mengikuti kewajiban, Bang."

"Gue tebak. Lu dapat perusahaan juga?"

"Hm."

"Lu harus urus itu?"

"Hm."

Fabian menarik napas panjang. Dia langsung mengerti kerusuhan hati Tristan.

"What should I do, Bang? Baru bayanginnya aja gue sudah mau mati."

"Memang pengacara bilang apa?"

"Gue harus secepatnya ke kantor ketemu ring satu Papa."

"Pastinya." Fabian mengangguk. "Tapi apa yang bikin lu berantakan gini?"

"Semua keputusan di tangan gue. Salah ambil keputusan, perusahaan bubar. PHK massal."

"Ya jangan salah ambil keputusan dong. Gampang kan? Ribetnya di mana sih?"

"Gue matiin nih vcall ya?"

"Ck. Pundungan banget sih. Kayak cewek."

"IAN!" Rey menghardik.

"Rasakno." Tristan langsung terkekeh.

"Ian tuh yang pundungan."

"Iya iya. Cewek selalu benar, kalau cewek salah kembali ke pasal satu."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang