114, Satu Masalah Selesai

175 46 38
                                    

MELIHAT ekspresi Non, Tristan tahu semua tidak baik-baik saja meski itu cuma berupa burger.

Lagi-lagi dia menunduk ingin menyembunyikan wajahnya dari hadapan perempuan-perempuannya. Terlalu malu menatap dunia. Namun wajah lugu Trisha membuatnya memunguti sisa-sisa ego itu. Tersisa remah yang begitu sulit disatukan.

Hancur.

Meski perih, sebuah senyum tetap dia berikan untuk adiknya sambil membelai rambut Trisha.

Trisha bukan Non dan adik-adiknya yang terbiasa makan apa adanya. Trisha tetap terbiasa dengan kemewahan. Sesuatu yang dia anggap remeh sekarang menjadi beban kakaknya.

Ya Tuhan.... Untuk memberi makan tanggung jawabnya pun dia kesulitan. Kebutuhan seprimer itu? Bagaimana kebutuhan mereka yang lain? Dengan apa dia mencukupinya?

Ya Tuhan...

Sanggupkah dia bangun besok hari dengan kepala tegak?

"Kering banget ya, Non."

Dia berusaha menjaga tone suaranya di level normal. Namun sekuat apa pun dia berusaha, tarikan pedih di suara itu tetap nyata terdengar di telinga Non. Kepedihan yang sama Non rasakan. Bagaimana caranya menghibur lelaki ini?

"Take away buat Trisha aja gimana?" Paling tidak Trisha mendapat yang dia mau.

Tanpa sadar Tristan menggigit bibir, menahan erang dan teriakan yang menggantung mencekat di temggorokan. Lehernya tercekik tanpa ikatan.

Lemah, akhirnya dia mengangguk.

Pasrah.

Hanya seperti itu kemampuannya.

"Bisa sih kita paksain. Tapi dana segitu bisa untuk kita beberapa hari." Lirih, Non ikut menggigit bibir setelah selesai mengucapkan kalimat yang makin menghancurkan ego suaminya.

Trisha sudah kembali berlari pergi bermain.

"Lalu? Setelahnya?"

Non tidak bisa menjawab.

"Besok kita open order lagi aja ya." Urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Dia sudah sangat terjepit.

"Kamu sudah bisa?"

"Badan aku sudah jauh lebih baik, tapi kepala aku yang mumet banget. Tapi lebih mumet lagi kalau kita begini terus." Dia mendesah berat. "Minimal jual dulu deh tuh HP lama aku." Dia melirik ke pergelangan tangannya. Bakal calon benda yang akan berpindah pemilik. "Tapi tu HP juga kan punyanya SPP dan kos." Dia membuang napas kasar.

"Pakai yang dari Bang Ian dulu gimana?"

Tristan malah memejamkan mata sangat erat dan kembali menggigit bibirnya.

"Trist, kamu mau ngurus perusahaan itu kan?"

"Mau nggak mau. Kalau nggak gimana nasib karyawannya? Kita aja susah begini, apalagi mereka kalau nggak kerja." Dia memasang lagi wajah memelasnya. "Kata Ari, kalau aku nggak turun tangan langsung, tinggal tunggu waktu aja tu perusahaan ambruk. Kalau nggak karena yang kerja nggak serius ya karena memang ada yang mau ngerusak dari dalam. Dia sudah pengalaman ngurus warisan istri pertamanya."

"Kalau seperti itu, namanya kamu kerja juga dong?"

"Itu juga yang bikin aku makin mumet. Gimana bagi waktunya? Kuliah, ngurus kantor, jualan, antar jemput kamu...." Tangannya bergerak menghalau angin. "Amoeba cuma ngebelah diri jadi dua. Aku butuh ngebelah diri dua kali biar semua kepegang."

"Kamu bilang uang jajan kamu dijadiin payrol sama papa kamu?"

Tristan mengedikan bahu, abai. Masih jengkel dengan semua yang berhubungan dengan ayahnya. Apalagi sekarang. Saat kepergiannya meninggalkan begitu banyak beban.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang