MIMPI itu...
Kenapa hadir lagi?
Sekarang, di saat yang sangat tidak tepat ketika dia butuh semua keewarasan dan ketenangannya.
"Sshh...."
Napasnya belum lagi normal tapi tubuh gelisah di pelukannya harus ditenangkan. Cukup satu orang saja terbangun dan gelisah.
Jam berapa ini? tanyanya pada diri sendiri. Dia melirik ke dinding. Temaran lampu tidur masih bisa menunjukkan bayangan jarum. Sudah lewat tengah malam.
Mimpi itu masih mengganggunya meski dia sudah utuh terbangun. Tubuh ringkih di sampingnya masih gelisah meski jelas dia tidak terbangun. Dia terus berusaha meninabobokan Non. Tangannya bergetar membelai menenangkan istrinya.
"Sshh... It's okay, Non. Tidur lagi ya."
Tak ingin mengganggu lelap istrinya dengan kegelisahannya, dia perlahan melepaskan lilitan Non di perutnya. Tangan Non menangkup di salah satu bekas luka. Seakan menjaga luka itu tidak berdarah lagi. Luka terparah yang nyaris membuatnya berpindah alam. Ketika akhirnya dia bisa melepaskan diri, dia hanya duduk di tepi ranjang mengatur napas. Duduk menangkup wajah dengan siku bersandar di lutut.
Ke mana perginya hari-hari indah dan manis itu? Seakan baru kemarin mereka berbincang santai membahas kehidupan yang harus mereka jalani sambil berusaha menelaah hati dan luka batin masing-masing mereka.
Bagaimana ini?
Dia tidak bisa mengendalikan ketakutan Non. Malah sekarang semakin parah. Dan ketakutannya, yang beberapa bulan kebersamaan ini dia tekan sangat kuat kembali hadir berupa mimpi-mimpi buruk.
Mimpi buruk yang sama.
Apa dia bisa menjadi lelaki itu? Lelaki penggenggam tangan wali ketika memerima mandat Langit untuk melayani belahan jiwanya. Apa dia hanya akan menjadi sampah peradaban yang menyakiti sebelah sayapnya?
Suara-suara itu kembali hadir. Tangannya bergerak mendekap telinga, berusaha menghilangkan kenangan buruk dari rumah ornagtuanya. Namun bagaimana suara itu bisa hilang ketika suara itu berasal dari dalam kepalanya sendiri.
Inilah ketakutan terbesarnya ketika Fabian memaksa penikahan ini.
Dia tidak bisa menjadi lelaki itu. Dia takut dengan pernikahan.
Namun apa yang harus dia lakukan sekarang selain menekan semuanya? Saat semua kembali muncul berupa mimpi, dia semakin payah menutupi gelisah. Dia ingin berteriak, tapi perempuannya pun begitu lemah. Dia tidak ingin menambah lagi lukanya.
Sesak.
Semakin sesak ketika pikiran-pikiran absurd yang semakin sering melintas sulit dia usir.
Seandainya Non tidak masuk ke hidupnya, gadis itu masih menjadi mahasiswa yang riang dan menikmati jalan impiannya. Gadis kuat yang berani.
Seandainya dia menjauh dan tidak pernah mendekat...
Seandainya dia tidak pernah ada...
Seandainya....
Tanpa sadar dia sudah meluruh jatuh bersimpuh di lantai. Tangannya mencengkeram erat lutut dengan kepala menunduk dalam. Napasnya tersengal tak beraturan.
Aku harus menjauh.
Pergi.
Napasnya makin sesak. Terseok dia berusaha berdiri. Keryitan di dahi bukan karena nyeri di perut. Ada yang lebih sakit dari itu. Mengendap, dia keluar kamar. Batinnya berperang untuk bertahan dan pergi. Bagaimana bisa kedua hal ini hadir dan menguasai batinnya bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...