WAKTU terus berputar. Tak ada yang bisa menghalangi lajunya. Tidak juga Tristan yang akhirnya menerima keputusan mufakat hasil dari voting. Dari mereka berempat, tentu yang paling gelisah adalah Tristan. Dia sibuk menginventarisir isi rumah. Semua dia catat dan dia foto untuk dokumentasi. Termasuk jumlah piring, gelas, dan sendok.
Tanpa terasa, sudah hampir sebulan berlalu sejak mereka pertama kali terdampar di rumah itu. Dulu hanya penumpang, sekarang mereka penghuni. Sudah sejak dua hari lalu mereka menginap di sana. Oh, bukan menginap, tapi menetap. Bu Tedjo hanya membawa pakaian, foto-foto kenangan, dan beberapa barang. Dia menyumbangkan sisa pakaian yang tidak terbawa. Barang lain dia tinggalkan di rumah. Sudah dua malam mereka tinggal bersama di satu atap. Bu Tedjo menjelaskan sudut-sudut rumah dan apa yang biasa dia lakukan untuk rumah itu.
"Kapan Ibu rencana pulang ke Jakarta?" tanya Non sambil menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk anak Bu Tedjo.
"Nggak tau. Mungkin selama kalian di sini baik-baik aja Ibu akan anteng di sana."
Mereka berbincang di dapur yang bergabung dengan ruang makan.
"Kami cuma butuh dua kamar. Kamar Ibu saya kosongin aja ya. Siap Ibu pakai kapan pun Ibu pulang."
Bu Tedjo terkekeh. "Nggak usah, malah nanti hawanya nggak enak kalau kelamaan kosong."
"Ibu yakin betah di sana?"
"Kan Ibu sudah pernah tinggal dua bulan di sana. Sempat ngerasain winter. Di Jakarta sepanas ini, tapi pas winter Ibu baik-baik aja tuh."
"Orangnya di sana gimana, Bu? Ibu nyaman di sana?"
"Nyaman aja. Ibu tuh orangnya gampang dekat kok sama orang baru."
Non terkekeh. "Iya, Bu. Percaya. Buktinya kita baru kenal sebulan tapi sudah bisa akrab."
"Yah, pasti sih Ibu bakal kangen suasana di sini. Apalagi kalau momen-momen khusus kayak bulan puasa. Di sana meski sama-sama puasa tapi kan beda suasananya."
"Pastinya sih."
"Ibu tuh disuruh milih, lingkungan apa anak. Ibu pilih anak karena menurut Ibu, lingkungan kan gimana kitanya. Kalau kita bisa adaptasi ya lingkungan akan menerima kita. Kalau Ibu pilih lingkungan Ibu nggak bisa dapat anak. Sementara kalau Ibu pilih anak, lingkungan bisa mengikuti."
"Jodohnya jauh banget sih ya, Bu."
"Iya. Yah, namanya jodoh. Mau gimana lagi. Anak cuma satu, Ibu sih nggak terlalu masalah di sini sendirian tapi kasihan anaknya. Kepikiran terus. Takut ibunya kenapa-kenapa. Daripada dia nggak tenang, ya sudah, Ibu yang sudah nggak ada sangkutan apa-apa di sini ngalah deh ke sana."
Tak lama Tristan masuk ke dapur. "Jalan sekarang, Bu?" tanyanya pada Bu Tedjo.
"Iya. Sekarang aja."
"Sudah siap semua?"
"Kayaknya sih."
"Kalau ada yang ketinggalan nanti gampang dikirim kok, Bu," ujar Non.
Bu Tedjo tersenyum.
"Ibu titip rumah ya. Kalian yang akur di sini. Biar rumahnya makin adem."
"Iya, Bu. Bantu doa."
"Kalian betah kan di sini?"
"InsyaAllah betah, Bu."
Bu Tedjo tersenyum lagi.
"Ya sudah, ayo jalan."
Mereka berempat mengantar Bu Tedjo ke bandara. Dua malam tinggal bersama semakin mendekatkan mereka dan meyakinkan Bu Tedjo bahwa rumahnya akan baik-baik saja. Meski baru dua malam tapi mereka sudah bercerita banyak. Mereka menceritakan nyaris semua cerita yang membuat mereka bisa bertemu Bu Tedjo termasuk tentang musibah mengerikan yang menimpa mereka bertiga. Bu Tedjo pun sama. Dia menceritakan bagaimana sejarah rumah tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...