TRISTAN disambut Bu Darmi ketika sampai di rumah [orangtua]nya.
"Bang..." Bu Darmi memeluk anaknya. "Abang apa kabar? Adek gimana? Sehat?"
"Sehat, Bu. Alhamdulillah. Ibu gimana?" Dia berjalan dan Bu Darmi mengikuti arah langkahnya.
"Ibu nggak tenang Abang nggak pulang-pulang." Wajahnya memang menunjukkan itu.
"Bu, packing-in baju Adek ya. Kami pindah ke sana. Trisha mau Abang pindahin sekolahnya."
"Nak..." Suaranya tercekat, terjepit di jalan napas. "Kamu serius?"
"Papa tadi ke kampus, Bu. Papa tampar Bang Ian. Dia guru di sana. Abang nggak terima Papa begitu ke Bang Ian." Langkahnya melambat ketika wajahnya mengeras.
"Tristan..." Yang dipanggil menoleh ke sumber suara khawatir di sampingnya.
"Cepetan packing, Bu. Abang nggak bisa lama-lama. Abang nggak mau ketemu Papa Mama." Dia sudah berlari menuju kamarnya.
Bu Darmi malah mengikut di belakangnya.
"Bu, Ibu packing baju Adek aja sana," usir Tristan.
"Ibu ikut, Bang."
Tristan menghentikan langkah di depan pintu. Dia langsung menyeret Bu Darmi masuk ke kamar.
"Bu, Ibu di sini dulu ya. Biar Abang tau keadaan di sini. Ibu telepon Abang kalau ada kabar apa-apa. Kalau Papa ngomong apa pun, kasih tau Abang."
"Tapi Ibu nggak betah kalau kalian nggak ada. Ibu takut. Bapak pasti bakal tambah sering marah-marah."
"Tapi kalau kita langsung pergi bareng nanti langsung ketauan kalau kami nggak ada di sini." Tristan mengacak rambutnya.
"Kalau kalian nggak ada, mending Ibu pulang kampung aja."
"Jangan, Bu." Dia makin kacau. Tanpa Bu Darmi dia akan makin limbung. Siapa orangtua yang bisa menjadi sandaran hati?
"Kenapa Ibu nggak boleh ikut?" Bu Darmi masih memaksa.
"Bu, di sana nggak ada tempat. Saya aja tidur di ranjang Bang Ian bareng sama yang lain. Trisha sama cewek-cewek."
"Ibu nggak apa-apa tidur di lantai."
"Kalau Bang Ian tau, dia bakal langsung siapin tempat buat Ibu dan Trisha. Abang nggak enak, Bu. Abang makin ngerepotin Bang Ian banget." Suaranya makin merana.
"Abang kan ada uang, ya, sudah, pakai uang Abang aja."
"Bu, kita baru di sana. Masa langsung ngatur-ngatur gitu. Langsung mau bikin kamar sendiri biar kita enak. Jangan mentang-mentang ada uang lalu kita begitu di rumah orang. Sudah bagus Bang Ian ngizinin kami tinggal di sana."
Bu Darmi diam.
"Abang juga harus mikir, kerja apa biar nggak ngebebanin Bang Ian. Sekolah Trisha di sana sih lebih murah, tapi SPP Abang kan nggak bisa diskon."
"Jual emas Abang."
"Bu, barang itu pasti kejual. Tapi kita nggak bisa boros lagi. Abang nggak tau sampai kapan Papa masih transfer. Tapi, bulan depan Abang sudah nggak mau pakai uang Papa lagi."
Bu Darmi langsung histeris. Meraung menjatuhkan diri bersimpuh di depan Tristan. Membuat Tristan ikut meluruh.
"Duh, Gusti.... Kenapa jadi begini?"
"Bu."
"Kamu bisa apa, Tristan... Kamu nggak pernah kerja apa-apa dari lahir." Panik, Bu Darmi meraih Tristan. Tangannya sampai di bahu lalu merosot di sepanjang lengan Tristan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...