99, Seandainya...

147 48 23
                                    

DI kamar, Non tidur meringkuk. Mendengar suara pintu terbuka, dia mendongak dan mendapati Tristan berjalan nyaris mengendap. Melihat Non belum tidur, Tristan tersenyum lalu duduk menyamping di ranjang. Non langsung bergerak dan meletakkan kepalanya di pangkuan Tristan.

"Sudah makan, Non?" tanyanya sambil mengelus rambut Non.

"Sudah. Kamu?"

"Belum." Mendengar jawaban itu, Non langsung bergerak duduk.

"Mau ke mana?" Tristan bertanya ketika melihat gerakan duduk istrinya berubah lagi.

"Siapin makan kamu."

"Eh, nggak usah." Tristan menarik tangan Non. "Kamu tidur aja. Nanti aku makan sendiri kalau sudah lapar."

Tapi Non tetap berdiri. "Kamu belum minum obat."

"Non..." Bahunya melorot. Tak ingin berpanjang kata, dia pun berdiri dan mengikuti langkah Non.

"Bunda masak ini. Kamu makan kan?" Non membuka tudung saji. Tristan tentu mengangguk.

Meja makan masih rapi, disiapkan untuk Tristan makan. Non sisa melayani Tristan saja. Dia membuka piring yang telungkup di meja lalu mengisinya dengan nasi dari penanak listrik. Umur pernikahan mereka memang masih seumur jagung, tapi seingat Tristan, Non tidak pernah melayaninya seperti ini. Mungkin karena mereka tinggal terpisah dan hanya sesekali menginap bersama di flat. Namun cara Non melayani sangat berbeda. Terutama atmosfer yang terbentuk sekarang. Tristan sangat tidak nyaman. Non yang biasa sangat-sangat gesit kali ini bergerak begitu perlahan. Setiap gerakannya seperti diukur dan dihitung.

Tak ingin berlama-lama, Tristan berusaha menghabiskan porsinya secepat mungkin. Dia semakin merasa sangat-sangat lelah. Lelah yang membuatnya memilih diam tanpa suara. Sepi yang membuat bunyi pintu terbuka menyentak keduanya.

Bunda langsung tersenyum ketika melihat mereka berdua.

"Makan yang banyak ya, Nak. Biar cepat sembuh." Dia mengelus rambut Tristan.

Mengangguk, tercekat, dia memejamkan mata rapat dan menunduk dalam. Orang ini baru mengenalnya tapi sudah memperlakukannya seperti ini.

"Kalian tidur di kamar tamu aja ya. Di kamar itu sempit. Ranjangnya kecil." Non memang tidur di kamar anak perempuan Bunda yang berkuliah di luar negeri. Ranjang di kamar anak-anaknya memang hanya queen size sementara di kamar tamu king size.

"Nggak usah, Bunda." Dua mereka menjawab bersamaan.

"Iya deh. Nggak apa-apa di sana. Sempit-sempitan kan bisa peluk-pelukan. Iya kan?" ujar Bunda sambil menyeringai. Namun keduanya hanya menjawab dengan senyum tipis. Membuat wanita paruh baya itu menarik napas panjang.

"Kalau ada apa-apa bilang Bunda ya, Nak. Jangan dibawa sendiri susahnya."

"Iya, Bund." Non menunduk.

"Kalian saling jaga ya."

"Iya, Bund." Tristan pun menunduk.

"Bunda tinggal ya." Dia pun berdiri. Memberi anak-anak itu ruang untuk berdua saja. Dia tidak tahu apa mereka butuh itu. Sebagai pasangan, mereka tidak bermasalah, tapi sebagai individu, keduanya sedang terluka parah. Apa yang bisa seorang ibu lakukan ketika anak-anaknya seperti ini? Dan mereka anak-anak yang baru dia kenal. Semua yang dia lakukan hanya menuruti naluri keibuannya saja. Dia hanya bisa memastikan hati dan telinganya lebih peka saja.

Makan malam sudah selesai. Non kembali bergerak merapikan meja. Tak ada yang dikerjakan, Tristan membantu Non.

"Kamu duduk aja ya. Jangan banyak gerak."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang