90, Bertahanlah, Please

176 50 74
                                    

UDARA mendadak menyengat di ruangan itu. Suasananya yang tadi begitu cair mendadak beku. Tak ada suara gelak lagi, semua suara mendadak hilang. Sepi yang menegang, seakan satu jentikan saja semua bisa meledak.

Trisnayuda berdiri kaku di tengah ruang.

"Woy! Ada apaan sih? Kok mendadak sepi? Setan lewat?" Suara Fabian yang tidak tahu apa-apa terdengar begitu jelas.

Ari berdiri dan menyambar ponsel yang bersandar di trolley.

"His father's coming." Berbicara cepat dengan bibir nyaris rapat dengan microphone, lalu dia meletakkan lagi ponsel itu telungkup di trolley.

Fabian mendelik sempurna. Rey menoleh ke arah lelakinya dan mereka saling menatap dengan mulut terbuka.

"Oks, Bro. Get well soon. We'll coming soon." Berpamit, Ari menepuk pelan bahu Tristan. Dengan ekor matanya dia mengajak Dee. Dan yang lain pun ikut berdiri.

"Nggak perlu keluar lu pada. Nggak ada yang penting yang mau diomongin."

"It's okay. Kamu mungkin butuh privasi."

"Nggak, gue nggak butuh."

Sungguh, Tristan sangat tidak ingin berdua saja di ruangan yang sama dengan ayahnya. Apalagi dalam kondisi lemah seperti sekarang, dia tidak bisa melawan.

Tapi Ari tetap melangkah ke arah pintu sambil mengangguk satu kali pada tamu yang tidak diundang yang tetap berdiri sendirian di tengah ruang.

Non mengelus pelan lengan Tristan lalu dia berdiri. Namun tangan Tristan menahan langkahnya. Suara pintu menutup meninggalkan mereka bertiga di ruangn itu.

"Di sini aja."

"Tristan...."

"Kamu istri aku."

Kalimat singkat itu mengejutkan Trisnayuda. Sedikit sentakan terlihat di wajahnya.

Menggigit bibir bawahnya, Non patuh pada perintah suaminya, dia tidak jadi pergi. Dia memilih berdiri tepat di samping kepala Tristan.

Denyut di kepala Tristan makin terasa. Dia merasa tekanan darahnya pun meningkat seiring jantungnya yang bekerja lebih keras.

Bukan, bukan karena dia marah ayahnya baru datang menjenguknya setelah dia berhari-hari di ICU. Dia bahkan melupakan orang yang berdiri tidak bergerak di depannya sebagai orang yang seharusnya ada ketika dia berjuang antara hidup dan mati. Apalagi ketika dia kembali ke tuduhan awal. Mungkin ini semua ulah orang itu. Denyut di kepalanya makin menjadi.

"Ada perlu apa Papa ke sini?" Suaranya datar nyaris tanpa nada.

"Cuma mau bilang, kami akan bercerai. Mama kamu akan ikut calon suaminya ke New Zealand. Papa cuma akan pindah ke Jakarta. Rumah akan kosong. Kamu bisa tinggal di sana."

Tristan tidak tahu, apakah info yang baru dia dengar itu info penting atau tidak. Namun tetap, sedikit tarikan terkejut terlihat di wajahnya.

"Nggak perlu. Terima kasih." Tristan langsung menolak pemberian yang sungguh sangat dia butuhkan saat ini.

"Papa sudah bayar semua tagihan rumah sakit," ujarnya mengabaikan ucapan anaknya.

Info yang membuat Tristan mendengus jijik.

"Nggak perlu. Sudah pakai asuransi dan kekurangannya sudah ada yang bayar." Sungguh, dia memang berusaha menolak kebaikan hati Ari, tapi jika harus memilih, dia lebih baik berhutang bahkan jujur meminta pada Ari daripada ke ayahnya.

"Jangan ngerepotin orang lain."

"Orang lain? Yang bayarin itu abang saya. Papa yang orang lain. Makanya saya nggak mau ngerepotin Papa." Sungguh, tenaganya langsung berada di titik nadir atas kehadiran ayahnya. "Lagian ngapain Papa repot-repot bayarin, yang bikin saya di sini Papa kan?"

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang