GETAR suara ponsel di meja di samping ranjang mengganggu lelapnya. Masih dengan mata terpejam dia meraba-raba mencari sumber bunyi. Sampai akhirnya benda itu berhasil teraih tangannya, dia memaksa matanya membuka untuk melirik si penelepon. Telepon di tengah malam seharusnya bisa membuatnya bergerak cepat, tapi lelahnya menunda itu semua.
Non.
Ada apa?
Dia langsung menerima panggilan itu.
"Ya, Non?" tanyanya masih dengan suara mengantuk. Namun suara ribut dengan tone panik membuat kesadarannya langsung utuh.
"Non! Ada apa?" Matanya sudah terbuka lebar. Non tidak menjawab, hanya terdengar jeritan-jeritan dari banyak suara.
Tahu ada yang tidak beres, dia semakin menajamkan pendengarannya. Jantungnya berdetak cepat ketika dia bisa menyimpulkan apa yang terjadi di sana.
Kebakaran.
Tanpa berpikir lagi, dia langsung berdiri dan berpakaian melapisi pakaian tidur lalu langsung ke luar kamar. Di depan kamar dia bertemu Dewa yang sedang berjalan di selasar.
"Mau ke mana lu?"
"Rumah kebakaran." Dia menjawab sambil terus berlari ke depan.
"Hah?" Dewa mendelik tapi langsung sadar. "Rumah siapa?"
"Rumah Bang Ian." Dia menjawab sambil terus bergerak.
"Hah?"
"Rumah panggung, bukan rumah Rey."
"Hah?" Dewa ikut bergerak. "Trist, gue ikut."
"Cepetan."
Ketika Tristan mengeluarkan motor, Dewa berganti pakaian. Ketika Tristan sudah siap di atas motor, Dewa sudah muncul, menutup pagar, lalu langsung duduk di belakang Tristan. Tanpa menunggu penumpangnya stabil, Tristan langsung menarik gas.
Dari jarak cukup jauh mereka sudah melihat asap membumbung dari arah rumah. Tristan semakin mempercepat laju motor. Jantungnya berderap. Dewa mencengkeram bahu sahabatnya keras untuk membuatnya tetap sadar bahwa dia sedang mengendarai motor. Semakin mendekat ke rumah jantungnya seribut suara sirena pemadam kebakaran.
Dan pemandangan di depannya membuatnya semakin panik. Kasar dia memarkirkan motor lalu langsung berlari menerjang masuk. Tidak akan ada yang tersisa dari rumah kayu itu selain arang.
Tristan terdiam dengan mata mendelik sempurna. Lalu dia meluruh jatuh berlutut dan kembali jatuh bersimpuh. Tangannya menarik kasar rambutnya sampai dia nyaris bersujud.
"AAARRRGGGHHH...!!!"
Hatinya sakit melihat rumah itu menjadi arang.
Napasnya terus memburu bahkan ketika Dewa menariknya menjauh.
"Yang lain mana?" tanya Dewa untuk menyadarkan Tristan. "Kita harus cari meeka."
Tristan langsung sadar ada yang lebih penting dari rumah itu. Berdua mereka mengedarkan pandangan mencari penghuni rumah yang ternyata berkerumun di jarak aman dengan penjagaan petugas. Tristan dan Dewa langsung berlari ke mereka.
Panik membuatnya tidak bisa mengingat satu per satu keluarganya.
"Ini sudah lengkap semua kan? Nggak ada korban kan?" Dia berteriak kalut sambil berusaha mengenali satu per satu.
Seseorang menariknya ke pinggir sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Pak Barjo.
"Tenang, semua selamat. Cuma ada luka-luka kecil aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...