91, Berita di Tengah Malam

184 46 60
                                    

MENINGGALKAN ruang perawatan anaknya, Trisnayuda berjalan melewati kumpulan orang-orang yang tadi keluar ketika dia masuk. Teman-teman anaknya. Tanpa berpamit, tanpa berkata satu patah kata pun tapi memang tidak ada yang berharap dipamiti.

Dia terus berjalan melintasi lobby. Di pintu utama, mobilnya sudah siap termasuk pintu yang terbuka siap menyambutnya. Dia langsung masuk dan pintu pun menutup di belakangnya. Seorang pengawal bergegas masuk dan duduk di depan. Tak lama mobil meluncur mulus.

Di dalam mobil, dia tercenung. Yang pertama terlintas adalah apa perlu dia menghubungi [mantan] istrinya untuk mngabarkan kondisi Tristan? Apa yang akan terjadi jika ibunya datang? Apa akan mempercepat proses pemulihan Tristan? Atau sebaliknya? Ah, kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan pertemuan mereka tadi. Menyimpulkan seperti itu, dia mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat.

.

Tristan sudah sadar, nggak usah ke sini.

.

Tak lama tanda ceklis menjadi biru. Terbaca tapi tak terbalas.

Ya sudahlah. Tidak ada lagi yang penting di antara mereka berdua. Masih menatap ponsel di tangan, dia melihat chat lain di deretan atas.

.

Setiabudi : Sudah selesai.

.

Pesan itu terbaca tanpa harus dia membuka jendela pesan. Tidak perlu dibuka. Itu hanya laporan saja. Lalu dia mengisi perjalanan dengan melamun. Melamunkan pertemuan dengan anaknya yang tidak pernah menganggapnya ada. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir anaknya tanpa beban dosa sama sekali. Begitu lancar keluar. Anak itu seperti meluapkan semua. Dia memang sudah sangat terbiasa dengan keributan di rumah, termasuk dengan anaknya. Namun kali ini, ucapan dan tatapan Tristan sangat jelas menunjukkan kemarahan dan kebenciannya. Entah untuk siapa marah dan benci itu dia tujukan. Padanya kah? Atau pada kehidupannya? Melihat itu, dia yakin, semua sudah tidak bisa lagi diperbaiki. Kadung rusak parah.

Mungkin yang terbaik memang dia pergi. Tak perlu memaksa lagi. Membiarkan semua berjalan sendiri-sendiri. Karena ketika bersama pun semua tidak berarti.

Mungkin yang terbaik memang dia pergi.

***

Mereka tahu, di dalam Non dan Tristan tidak baik-baik saja. Setelah menunggu beberapa saat, Ando memberanikan diri membuka pintu dan melongok ke dalam. Dia melihat Non yang terisak terus berbisik di telinga Tristan yang sudah memejamkan mata. Berjingkat, dia mengendap ke arah ranjang berusaha tidak mengganggu Non.

"Tristan, kamu harus bertahan. Buat Trisha, buat aku. Please...."

Kalimat yang membuatnya trenyuh. Perlahan dia menarik bahu Non menjauh dari Tristan. Namun Non menahan tubuhnya, tak mau menjauh.

"Tristan lagi tidur, Non. Lu tidur juga ya. Istirahat."

"Tristan tadi bilang capek, Bang."

"Dia memang belum sembuh total kan."

"Tapi dia ngomongnya ngeselin banget."

"Sudah, Non, orang sakit omongannya jangan dimasukin ke hati."

"Tapi gue takut, Bang." Dia masih terus menempel pada lelakinya dan menahan isak.

"Menjauh sedikit biar Tristan bisa istirahat. Dia pasti bisa ngerasain lu sedih begini."

Entah benar atau tidak, Ando tidak tahu. Dia hanya ingin Non beristirahat saja. Sampai akhirnya dia berhasil menarik Non menjauh lalu dia memanggil yang lain. Kali ini tidak ada keceriaan di ruangan itu. Tristan entah tidur atau tak sadar hanya menjadi obyek yang selalu mereka pandangi dengan perasaan masygul.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang