BERHARAP waktu membeku di rumah itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Mereka hanya bisa berjanji akan segera kembali secepatnya ketika malam sudah cukup larut untuk ukuran Trisha. Gadis kecil itu merajuk tak mau pulang. Dia merengek ingin ikut ke mana pun Tristan pergi. Hal yang sangat berat karena sungguh, Tristan butuh istirahat. Butuh tidur nyenyak. Hal yang sulit dia dapatkan di rumah itu. Dia yakin, dia akan semakin sulit tidur di rumah itu setelah dua kejadian di rumah lain kemarin. Otaknya akan sulit diatur dan bayangan tentang ke[titik-titik] ayahnya akan semakin jelas.
Di mana mereka akan tinggal? Menginap sajalah. Menginap untuk malam ini saja. Besok dia harus mengantar Trisha lalu mengantar Non kemudian kembali ke sekolah Trisha membahas kemungkinan Trisha kembali ke asrama. Menyerah, begitu pening dengan semua urusan ini, dia memutuskan malam itu mereka kembali bermalam di rumah kayu. Besok pagi biarlah waktu yang mengurus semuanya.
***
"Are you okay. Trist?" tanya Non ketika Tristan memarkir mobil di kampus Non.
"I'm fine. Why you ask me like that?"
"Masih pagi, sudah harus nyetir bolak-balik kayak gini. Kamu nggak capek?"
Tristan terkekeh.
"Sumpah, lebih baik capek fisik daripada capek pikiran. Kamu selama ada di tempat yang kamu rasa nyaman, kamu akan baik-baik aja. Kamu, selama nggak sendirian, selama aku antar jemput, kamu lebih terkontrol. Kamu baik-baik aja. Aku butuh kamu yang baik-baik aja makanya kemarin aku tanya, kamu cuma butuh aku temenin begini kan? I'm oke, I'm fine. Jadi supir kalian nggak bikin aku sakit. Nggak usah mikir macam-macam yang bisa bikin kamu limbung karena itu bisa bikin aku makin koslet."
Non tersenyum dan bergerak mengecup pipi Tristan untuk penjelasan detailnya. Dia tahu kenapa Tristan merasa harus menjelaskan sejelas itu.
"Kamu sudah japri orang kantor?"
Tristan menggeleng. "Belum. Nanti jam sembilan pas orang sudah mulai kerja." Dia melirik jam di tangnnya. "Wish me luck ya, Non." Dia meraih punggung Non mendekat dan mengecup puncak kepalanya syahdu.
Semua itu membuat hati Non terenyuh sekaligus membuncah. Dia balas pelukan lelakinya, seakan tidak mau melepas tidak mau berpisah. Tristan jelas mengatakan dia membutuhkan dirinya untuk bertahan, tapi tahukah Tristan bahwa dia pun sama. Kesabaran dan ketabahan Tristan menguatkannya.
Dia merangsek lebih mendekat. "Selalu, Trist. Selalu," bisiknya di dada Tristan.
Bukan. Mereka bukan berat untuk berpisah. Mereka hanya ingin selalu bersama.
***
Hari itu, urusan Trisha selesai. Sekolah sangat bersedia membantu memulihkan Trisha. Mereka sangat senang jika Trisha bisa kembali ke kurikulum sekolah dan bisa hidup normal di sana. Tristan tentu siap 24 jam kapan pun sekolah memanggil jika ada kondisi darurat. Namun Tristan percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Dua malam di rumah Trisha bisa hidup normal.
Kali ini meyakinkan Trisha untuk kembali tinggal di asrama tidak sesulit saat pertama. Cukup membayangkan tidak tinggal di rumah papanya Trisha bisa menerima saran Tristan. Tidak ada yang gadis kecil itu minta kecuali libur akhir pekan bersama Tristan yang langsung dia iyakan.
Satu urusan selesai.
Tristan melaporkan pada Ari bahwa mereka bersedia bertemu di hari Jumat yang langsung Ari iyakan saja. Dia menyiapkan satu hari itu untuk menemani Tristan.
***
Hari itu akhirnya datang.
Dia yang selama ini menghindar ke gedung itu sekarang terpaksa ke sana dan bahkan selanjutnya akan sering ke sana. Urusan itu masih memberatkan hatinya. Pagi itu ketika Non membuka pintu kamar, dia mendapati Tristan sedang mengikat dasi dengan wajah datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...