118, Pemilik Baru

150 45 42
                                    

TRISTAN yang pertama sampai di gedung itu. Dia memilih menunggu di lobby tanpa mengabarkan kedatangannya pada C-level di sana. Tak lama, Angkasa datang menyusul Ari. Lengkap tiga, barulah Tristan mengabarkan kedatangannya dan seorang resepsionis meninggalkan posnya demi mengantar mereka langsung ke meeting room.

Di sana sudah menunggu C-level dan kadiv dengan personal assistant masing-masing. Nyali Tristan menciut. Dia tidak pernah membayangkan berada di ruangan ini sebagai owner. Namun, mengingat itu, mengingat bahwa dia adalah pemilik dan mereka stafnya, dia kembali menegakkan bahu dan menaikkan dagu. Apalagi ketika melihat Angkasa dan Ari menerima jabat tangan mereka dengan genggaman mantap. Tristan memperkenalkan kedua orang itu sebagai rekan kerjanya sesuai pesan Ari sejak awal. Rekan kerja yang tidak pernah dia infokan sebelumnya.

"Saya pikir Mas Tristan datang sama Pak Budi." Salah seorang dari mereka bersuara membuka percakapan.

Tristan tersenyum tipis. "Pak Budi cuma ngerti urusan legalitas. Pak Ari dan Pak Angkasa, owner Samudra Coorporations tentu lebih ngerti urusan perusahaan. Saya banyak belajar dari mereka. Ke depan saya juga akan belajar dari Bapak-Bapak semua."

Mendengar nama Samudra Coorporation, mereka agak berjengit. Itu perusahaan sangat baru tapi sangat berani berekspansi. Namanya memang belum masuk ke jajaran atas, tapi gerak majunya sudah terlihat. Ketiganya langsung mencatat ekspresi orang-orang itu.

"Wah, saya nggak nyangka Mas Tristan kenalannya sudah seluas ini. Selama ini nggak pernah main ke kantor, tau-tau sudah punya partner bisnis anak muda yang moncer."

Tristan terkekeh.

"Setau saya owner S.Corp ada tiga."

"Fabian sedang kuliah di Paris." Ari menjawab. Tentu dengan tone datar khasnya. "Di sana dia mengurus cabang Eropa."

"Baik." Angkasa memotong. "Baiknya kita mulai saja."

***

Rapat berlangsung hampir tiga jam. Menjelang waktu istirahat untuk sementara mereka selesai. Rapat berikutnya akan ditentukan kemudian. Saat ini sudah cukup sebagai perkenalan. Tristan sudah mendapat gambaran besar tanggung jawabnya yang baru. Meninggalkan ruang rapat, Tristan memilih untuk melihat-lihat kondisi kantor. Putro, CEO yang berusia awal 40-an menjadi guide mereka. Dengan ponsel di tangan Tristan menggunakan gadget itu sebagai medianya mencatat.

Ari melirik pergelangan tangannya. Tristan pun menyadari waktu.

"Musholla di mana, Pak?"

"Eh..." tergagap. "Di basement."

"Oh." Tristan memutar mata dalam hati.

Dan benar seperti dugaannya. Tempat itu tidak layak untuk gedung sebesar dengan karyawan sebanyak ini. Tempat itu terlihat penuh. Berdampingan dengan kantin, tentu suara-suara dari kantin masuk ke dalam. Dia bisa menebak seperti apa di dalam. Ari melongok lalu mundur.

"Eh, banyak yang sholat di area masing-masing sih, Mas. Bebas aja."

"Ya sudah, antar kami ke ruangan saya." Datar,

Mungkin hanya dia management trainee yang langsung memiliki ruang khusus. Putro langsung mempersilakan mereka kembali ke lift khusus direksi. Dia menekan angka 21, lalu meminta izin menerima telepon.

"Do we need special lift like this, Ri?" Berbisik.

Ari mengedikkan bahu. "You'll see in rush hour."

"Cicing sia." Berbisik, Angkasa mengingatkan.

Putro memimpin mereka melewati ruang besar yang mewah menuju sebuah pintu. Tristan tentu tahu tujuan akhir mereka. Semakin menuju ke ruangan itu, dia semakin gelisah. Bahkan ketika Putro membukakan pintu untuk mereka dia memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan bayangan papanya.

"Silakan, Mas."

"Pak, tolong pinjemin sajadah ya." Dia sangat yakin tidak ada benda itu di ruang ini. "Tiga."

"Sebentar." Lalu dia berpamit pergi. Meninggalkan Tristan berdiri di tengah ruang.

Angkasa langsung membanting bokongnya di sofa sementara Ari berjalan ke arah jendela besar di sana.

"Kalau dengar dari cerita lu tentang bokap, Trist, gue nggak heran kalau mushollanya begitu doang." Angkasa mendengus.

"Pengalaman pribadi?" Ari bersuara tanpa menolehkan wajah.

"Yoi."

"Gue sudah catat. Musholla di setiap lantai. Ruang baru buat gue."

"Hah? Lu nggak mau di sini?" Terkejut, Angkasa bertanya sampai menegakkan punggung. "Ini sudah bagus loh."

"Terlalu bagus buat anak MT." Tristan mendengus.

"Apa tidak cukup jika diubah interiornya saja." Ari kembali bersuara. Kali ini dia memutar tubuh lalu bersandar di meja kerja besar.

"Ck." Tristan berjalan ke arah sofa lalu duduk di samping Angkasa.

"Iya sih, Trist. Nyiapin satu space baru di lantai ini kayaknya bakal ngubah semua ruang deh. Bongkar lantai."

"Au ah." Dengan tangan membentuk sangurdi di tengkuk, dia memejamkan mata. "Jadi gimana itu tadi? Ada kesimpulan lain nggak?" tanyanya tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Nothing. Just comfirming what I've said before."

"Kapan lu mulai aktif?" tanya Angkasa.

"Gue harus ke kampus dulu. Nggak enak banget sama dospem. Kata Rey, lakinya juga sudah nanyain mulu. Minggu depan gue fokus ke kampus dulu, minggu depannya lagi baru deh atur jadwal."

"Oks."

Bertepatan dengan itu, suara pintu diketuk menginterupsi obrolan mereka. Seseorang datang mengantarkan tiga sajadah yang Tristan terima dengan senyum tapi tak lama senyumnya menghilang.

"Entah sajadah siapa dia pinjam." Dia menyusun tiga sajadah itu di lantai. "Sajadah travel gini." Hanya sajadah tipis yang yah, cukup layak pakai tapi... ah, sudahlah.

Lepas sholat mereka dipanggiil untuk makan siang bersama yang mereka iyakan untuk lebih mengenal tim inti. Tidak ada pembicaraan berat, benar-benar untuk lebih mengenal pribadi masing-masing saja. Namun saat santai itulah Tristan mengutarakan dua keinginannya. Tentang mushalla dan mengubah ruang kerjanya yang langsung mereka iyakan.

Tak ingin membahas urusan kantor itu di kandangnya langsung, Ari mengajak Tristan ke kantornya dan mereka melanjutkan meeting di sana bersama Fabian. Pertemuan kali ini justru membuat Tristan pening kepala. Tiga orang itu membuatkan daftar pendek hal-hal yang harus dia lakukan. Memang tidak banyak, tapi semua itu hal sulit baginya.

Akhirnya hari yang berat itu berakhir juga ketika Angkasa harus bertemu dengan salah satu klien sementara Ari sudah sibuk bekerja sambil mereka berbincang di ruangannya. Tristan memilih menjemput Non meski hari masih sore, masih beberapa jam sampai jadwal pulang Non.

Tak ada yang dia kerjakan, dia memilih menunggu di café dekat kampus sambil mulai mengerjakan tugas kampus dan kantor. Selama ini dia pikir tugas kampusnya sudah berat, ternyata ada yang lebih berat lagi.

Fyuh...

Berusaha menabahkan hati, matanya tekun menatap layar laptop sambil menyeruput kopi. Saat itulah dia teringat satu hal. Untuk ukurannya, sudah sangat lama dia tidak merokok. Di rumah sakit tentu dia tidak merokok, tapi ketika sudah pulang pun dia tetap tidak menghisap asap perusak itu. Mengingat serangan bertubi-tubi yang dia terima sebulan terakhir, tentu seharusnya dia merokok makin gila. Apa yang menyebabkan dia lupa hal itu? Apa dia terlalu pening sampai lupa?

Ah, biarlah. Apa pun alasannya, kali ini, dia teringat kebiasaan buruknya itu tapi kali ini dia akan bertahan tidak melakukan itu. Dia kembali menyibukkan diri berkutat dengan data meski kali ini keinginan merokok menjadi ada.

***

Bersambung

Jumat, 9 September 2022

Ratu Elizabeth mangkat, pelakor jadi ratu. Inspirasional banget tu pelakor. Kezl.

*Ini notes apaan dah?

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang