89, Baratayuda

187 47 117
                                    

"EH, Ri, lu habis main di sini?" Itu salam pembukanya.

"Main? Main apa? Di mana?" Ari menjawab dengan pertanyaan dan kening berkerut dalam.

"Di apartemen abang lu."

"Sudah lama tidak pernah ke sana." Keningnya makin berkerut. Untuk apa dia ke sana? Apartemennya pun hanya sesekali dia datangi. "Main apa?"

"Lha siapa punya kerjaan nih kalau gitu?" Suara Angkasa makin jengkel.

"Kerjaan apa?" tanya Ari lagi semakin bingung.

"Nih."

Angkasa mengganti kamera menjadi kamera belakang, dan terlihatlah kekacauan di sana. Ranjang kamar tidur di apartemen milik bersama itu terlihat sangat... kacau.

"Astaga..." Semua berseru terkejut.

"Siapa lagi yang bisa main ginian kalau bukan lu, Ri! Yang lain mau dihajar sama Ian kalau pakai tempatnya buat main kuda-kudaan?!"

"Woy! Apaan di kamar gue?" teriak Fabian. "Lihat sini!"

"Bukan gue ya, Ian. Gue baru sampai nih. Mampir ke sini mau mandi malah pandangan gue ternoda lihat beginian."

"B*llsh*t amat," maki Fabian. Tapi dia pun terkejut melihat penampakan kamarnya. "Astaga! Who—"

"It was Tristan and Non. Main dokter-dokteran. Kamu lupa mereka sudah nikah, Angkasa?" Ari menjawab cepat setelah berhasil menyimpulkan kondisi ranjang itu.

"Astaga." Semua lagi-lagi berseru. Kali ini sambil menoleh ke arah ranjang. Ada Non dan Tristan di sana. Seto langsung menyambar ponsel Ari, berjalan cepat ke arah dua orang itu, dan memperlihatkan layar pada mereka.

"Shot lagi, A!" Nana dan Dee mendekat.

Dan Angkasa melakukan itu lagi. Benar-benar membuat Tristan dan Non mendelik sempurna. Tristan sampai lupa sakitnya ketika tanpa sadar dia berusaha duduk.

"Ngaku lu, Trist!" teriak Angkasa lagi. "Benar kerjaan lu kan?"

"Iya. Gue ngaku." Dia menepuk keras—untuk ukuran orang sakit—dahinya. "Gue—"

"As*!"

"B*ngs*t!"

Dan sejuta makian lain terdengar bercampur tawa lepas.

"Kapan waktunya lu main, B*ngs*t!" Dewa berteriak meski masih tergelak. "Astaga! Baratayuda juga kalah itu amburadulnya. Beti beud sama nama lu, Trist."

"Itu flat seminggu dua kali ada yang bersihin." Suara Fabian tanpa berusaha menahan gelak terdengar dari seberang. "Seminggu ini memang yang biasa bersihin cuti." Suara Fabian pun masih terkekeh. "Gue pikir its okay nggak usah dibersihin dulu karena ada kalian yang bolak balik ke sana. Pas kejadian kemarin ya lupa urusan itu."

"B*ngs*t banget. Stok kondom lu langsung habis, Ian. Maraton lu, Trist?" Angkasa masih sangat kesal. "Tristan! Apa perlu gue shot juga tempat sampahnya?"

"JANGAAANNN...!!!" Non berteriak panik ketika dia mengingat tempat sampah yang belum sempat dia bersihkan.

"Coba, A. Shot juga." Salah satu mewakili dengan isengnya.

"JANGAAANNN...!!!" Non makin panik.

"Pantas aja si Tristan kok lebam-lebamnya ada yang aneh. Bukan kayak bekas pukulan gitu. Sizenya sama, lokasinya juga aneh. Kerjaan lu itu, Non?" Seto tak bisa berhenti terbahak.

"Anj*y. Kapan lu ngejebolnya, B*ngs*t?" Dewa ikut memaki meski terbahak. "Terakhir lu bilang kalian sepakat santai. Santai tailedik kalau sampai ranjang porak poranda gitu."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang