"Assalamualaykum." Sebuah salam terdengar dari depan pagar. Membuat lima orang itu langsung menoleh ke sumber suara. "Loh, Fabian?" Pak Barjo. "Ada urusan penting sampai kamu pulang ke sini?"
Fabian nyaris berlari ke arah pagar menyambut tamunya.
Pak Barjo masuk diikuti Pak Imam. Namanya memang imam. Imam masjid dan modin di kampung itu. Melihat tamunya, Fabian ingin menjatuhkan diri bersujud syukur.
"Penting banget, Pak." Dia bergegas menyalami kedua tamunya sambil menggiringnya masuk ke halaman.
"Ada apa?"
"Saya mau nikahin Non."
"Hah?" Pak Barjo mendelik sempurna.
"Saya butuh wali. Pak Imam aja," ujarnya cepat.
"Hah?" Ganti Pak Imam terperangah. "Kenapa buru-buru sekali? Ada apa?"
Mendengar pertanyaan itu, Tristan berdecak.
"Gue bilang juga apa, Bang. Orang bakal mikir yang macam-macam malah kalau mendadak gini." Kesal, Tristan kembali mengentak tubuh. Ingin menendang angin, ada Pak Imam di sana.
"Tapi gua nggak bisa lama-lama di sini, Trist. Gue harus buru-buru balik ke Paris."
"Ck. Paling lu kangen Rey doang kan?" Tristan memutar mata. Fabian terkekeh. "Besok lu pulang gue nikah deh."
"Ck. Nggak mau. Kalau gue nggak bisa jadi walinya Non, gue mau jadi saksinya. Intinya gue mau lihat adek gue nikah."
"Ini ada apa ya?" Pak Barjo bertanya lagi. "Yang mau nikah Non sama Tristan? Kenapa? Kenapa Ian suruh sekarang juga?"
"Nggak ada apa-apa, Pak." Fabian berusaha menjelaskan. "Sebelum ada apa-apa ni anak dua dihalalin aja. Jangan sampai gara-gara mereka kita kena dosa jariah."
"Bang!" Sebenarnya Tristan ingin menambah suku kata 'sat' di belakang 'bang' itu, Pak Barjo bisa dia abaikan, tapi ada Pak Imam di sana.
"Pak, Bapak dari mana malam-malam gini?" Fabian bertanya. "Kok pas banget saya butuh wali pas Bapak lewat."
"Dari rapat di kantor RW. Yang lain sudah pulang duluan, saya keasyikan ngobrol jadi baru pulang." Pak Imam menjawab.
"Pak, kayaknya memang Non dan Tristan harus nikah sekarang deh. Tadi, saya kepedean mau jadi wali, butuh saksi, lalu Ando pulang. Sekarang saya tau diri, butuh wali, tiba-tiba Bapak lewat. Ini kalau nggak sama Pak Barjo mungkin Bapak nggak nyapa dan kami nggak sadar Bapak lewat." Fabian berkata pada Pak Imam.
Dua orangtua di kampung itu tersenyum.
"Coba cerita dulu gimana-gimananya, Bapak kan nggak bisa main jadi wali hakim untuk Non." Pak Imam bertanya menenangkan.
"Saya baru sampai, Non dan Tristan datang dari arah kebun." Fabian mulai menjelaskan. "Katanya dengar suara-suara aneh. Saya percaya mereka, Pak. Tapi saya kan juga sudah merasa kalau mereka dekatnya beda. Yang lain juga mikir ke sana. Daripada besok-besok mereka terpaksa nikah mending saya paksa nikah sekarang."
"Sekarang juga dipaksa dan terpaksa sih, Pak." Tristan menjawab cepat.
"Jadi Nak Tristan nggak mau nikah sama Non?" Pak Imam bertanya to the point.
Tristan langsung menepuk dahinya keras. "Bukan nggak mau, Pak. Tapi apa harus sekarang?"
"Apa yang bikin kalian nggak mau sekarang?" Pak Imam malah balik bertanya.
"Kami masih muda." Tristan menjawab cepat.
"Itu bukan alasan."
"Kami belum siap." Mulai tergagap mencari jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...