85, Semakin Kritis

167 48 83
                                    

"KELUARGA Batara Tristan?" Kalimat yang tedengar bersamaan dengan keluarnya seseorang dari pintu penantian membuat semua yang di sana tersentak.

"Saya." Non langsung berdiri. "Saya istrinya."

"Mari masuk," ajaknya sambil langsung membalik tubuh dan melangkah ke dalam lagi. Ando sigap berdiri dan menemani Non masuk sementara yang lain langsung berdiri mengerubung sedekat mungkin dengan pintu.

Di dalam, dia mengenalkan diri sebagai salah satu dokter yang berjuang menyelamatkan Tristan. Membuat Non berkali-kali mengucapkan terima kasih. Dengan sopan dan lembut dia menjelaskan kondisi Tristan di dalam. Ando tidak mengerti apa yang dokter itu ucapkan. Dia hanya melihat Non terisak semakin keras. Tubuhnya tidak lagi bertulang sampai Ando harus memeluknya dan seorang tenaga kesehatan memberikan Non tempat duduk. Lalu dokter itu melanjutkan penjelasannya. Non hanya mengangguk-angguk dengan isak yang makin sulit tertahan. Ando semakin kesulitan menangkap penjelasan-penjelasan dokter itu.

Yang dia tangkap hanya Tristan semakin kritis di dalam. Kehilangan darah dalam jumlah banyak dan terlalu lama tidak mendapat pertolongan yang memadai. Meski Non sudah berjuang mati-matian sepanjang menunggu ambulans datang, itu masih kurang. Dokter sedang berjuang mengurus organ yang terkoyak proyektil sekaligus mempertahan nyawa Tristan.

"Mohon bantu doa, Mbak, Mas. Kami butuh mukjizat." Kalimat penutup yang diucapkan dengan volume kecil dan ekspresi tegang dan berduka yang sangat menunjukkan kelemahannya sebagai manusia. "Kami akan terus berusaha sampai titik terbaik yang bisa kami lakukan." Lalu dia berpamit sangat santun dengan mengatupkan tangan di dada.

Menunggu isak Non mereda, Ando tak tahu harus melakukan apa selain berlutut di depan adiknya. Isak itu tidak mereka jaga, tapi mereka tidak mungkin selamanya di ruang itu. Dengan berat hati, Aldo merengkuh bahu Non dan memapahnya keluar. Mereka mendapati lima wajah tegang berdiri kaku dan semakin tegang ketika melihat Non tidak berdaya seperti itu.

Di sini, di ruang tunggu, no news is a good news. Namun tetap saja akan ada berita yang keluarga terima. Entah berita baik atau berita buruk. Melihat wajah Non, mereka tahu, Non membawa kabar buruk.

"Bantu doa. Dokter masih terus berusaha, Tristan juga sedang berjuang. Bantu doa."

Hanya itu yang Ando bisa ucapkan sambil membantu Non duduk. Dee dan Nana langsung menjepitnya. Nana mengulurkan botol air mineral. Melihat itu, Non makin mengecilkan tubuh. Dia teringat Tristan yang memeriksa botol air mineral sebelum menyerahkan padanya. Semua baru 24 jam lalu berlalu, tapi semua terjungkal. Dalam 24 jam, dua kali Tristan menyelamatkannya. Menjadikan dirinya tameng hidup demi peluru itu tak masuk ke tubuh Non. 24 jam dia habiskan berdua dengan sejuta kenangan, bahkan kenangan penyatuan pertama mereka pun terjadi di 24 jam ini. Dan permintaan Tristan sebelum mereka terbirit meninggalkan apartemen semakin membuatnya hancur.

.

"Temani aku ya, Non."

.

Temani aku, Tristan. Aku tak ingin sendiri. Hancur, hancurlah hati.

"Non.... Sabar ya, Non." Nana yang tidak tahu harus berkata apa hanya terus memeluk dan mengelus keras lengan Non. Sesungguhnya, mereka semua pun sangat berduka. Di ujung sambungan, Rey dan Fabian yang jauh di tengah Eropa duduk berpelukan dengan air mata mengalir.

"Tadi dokter ngomong apa?" Seto akhirnya bertanya.

"Gue nggak ngerti. Panik juga. Non yang ngerti. Tapi intinya Tristan kritis. Terlalu lama dibawa ke sini." Ando merosot sepanjang dinding dan berakhir dengan meluruskan sebelah kaki dan sebelah lagi menjadi tumpuang lengannya yang menahan kepala beratnya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang