MENJADI anak memang takdir. Seorang anak tidak bisa memilih dari benih siapa dia terbentuk dan dari rahim siapa dia terlahir. Non tahu itu, dan dia tidak mau nasib mengejeknya sepanjang jalan menuju takdirnya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu betapa dia merasa sangat beruntung bertemu Fabian di sore menjelang malam itu. Beruntung? Tidak. Dia merasa terberkati. Terberkati lebih bermakna dari sekedar keberuntungan.
Tak ingin menyia-yiakan berkat Langit itu, Non tidak menyisakan waktunya sedikit pun terbuang percuma. Dia mengabdikan hidupnya pada rumah itu. Menjaga adik-adiknya sebaik yang dia bisa demi menyenangkan hati Fabian. Fabian tenang meningalkan rumah itu dalam pengawasan Non.
Dia belajar seperti hidupnya bergantung pada nilai-nilai akademis yang membuat Fabian menitikkan air mata haru saat melihat rapotnya dan berjanji membantu Non mewujudkan apa pun cita-cita gadis itu. Di mata Fabian, gadis itu sempurna. Dia pintar, dia cerdas, dia juga cergas. Sangat bisa diandalkan. Fabian sangat bersyukur dipertemukan nasib dengan gadis seperti Non.
Sekarang, dalam kamus hidup Non, hanya ada bekerja dan belajar. Dia tidak menyisakan waktu untuk yang lain termasuk menikmati masa remaja. Termasuk tidak membuat celah di hati untuk apa yang remaja seusianya sebut cinta. Secara kasatmata, Fabian sangat ideal bagi Non untuk menjatuhkan hatinya. Namun dia terlalu sibuk dan terlalu menghargai lelaki yang sudah benar-benar dia anggap sebagai kakak yang dia hormati dan dia tuakan. Tidak pernah ada sedikit pun rasa lain untuk lelaki itu. Dia berhasil menjaga hati dari tercemar rasa lain yang bisa menodai ketulusannya mengabdi di rumah itu.
Namun, sekuat apa pun dia berusaha, ternyata seorang pemuda mampu meretakkan hatinya dan menembus pertahanan yang dia susun berlapir. Perlahan, menetes, merembes dan menghangatkan hatinya yang selama ini terbekukan impian dan pengabdian. Non tidak menyesali itu. Dia menikmati rasa baru yang terbentuk alami dari kedekatan mereka yang nyata. Nyaris setiap hari mereka berkirim pesan. Nama Tristan hampir selalu ada di bagian atas layar berbagi pesan.
Dia menikmati tapi dia tahu diri. Cukup sekali Tristan mengajaknya ke rumah, dia tahu posisinya. Dan dua kali hinaan dari orangtuanya membuatnya makin sadar diri. Tristan terlalu jauh untuk dia raih. Dia menikmati saja rasa itu tanpa berharap lebih. Akan tiba masanya, dia akan berpikir ke arah sana tapi tentu nama Batara Tristan Subrata akan dia hapus dari sana.
Dia akan mencari lelaki lain untuknya melabuhkan hati menyandarkan batin. Entah siapa dan entah di mana dia akan menemukan lelaki itu. Mungkin suatu hari nanti, saat profesinya meminta dia mengabdi jauh dari rumah ini, dia akan menemukan seorang lelaki sederhana yang mau menerima gadis tak bernasab sepertinya. Dia berharap, saat masa itu datang, dia sudah jauh dari bayangan Tristan.
Menunggu lelaki itu datang, dia akan menikmati masa mudanya dengan rasa baru di hati yang menjadi cinta pertamanya. Kebersamaan yang membawanya sejauh ini, maka, biar nanti waktu yang akan menghapus rasa ini. Tidak perlu tergesa, cukup bayangkan saja semua perbedaan di antara mereka maka rasa di hatinya akan kembali mafhum. Rasa yang sesekali membuat malam-malamnya menjadi lebih berwarna di sela kesibukannya yang sangat. Menghiburnya di saat lelah, menemani tidur lelap dan mimpi indahnya.
Seperti sore itu. Sore di tengah pekan, saat dia tertimbun di tumpukan buku di perpustakaan yang menjadi sahabat sejatinya. Di sela himpitan tugas, dia meraih ponsel lalu membuka aplikasi berkirim pesan. Nama Tristan selalu ada di layar utama tanpa perlu menggulir ke bawah.
.
Non : Trist, Jumat gue nggak bisa pulang ke rumah.
.
Balasannya langsung hadir. Membuatnya tersenyum.
.
B. Tristan : Kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...