23, Rekonsiliasi

160 50 89
                                    

SEPERTI yang Tristan duga, Trisha langsung setuju ketika dia mengatakan akan memindahkan sekolahnya ke sekolah berasrama. Tapi...

"Abang tinggal di sana juga kan?" Trisha bertanya sambil menjulurkan tangan berisi dedak pada ayam. Mereka sedang mengurus kebun dan ternak.

"Ya nggak lah, Dek. Di sana kan cuma buat anak SD aja."

"Ah, nggak mau kalau nggak ada Abang." Dia menggeleng. "Adek maunya sama Abang."

Tristan menarik napas, mendadak sesak napas.

"Nggak bisa, Dek. Adek kalau di sini, Abang bolos terus sekolahnya buat anter jemput Adek."

"Adek nggak apa-apa dianter jemput sama Pak Dino deh."

Bagaimana menjelaskan urusan ini kepada anak kelas 1 SD?

"Adek pilih sendiri ya. Kalau Adek mau diantar jemput sama Pak Dino berarti adek tinggal di rumah Papa. Kalau Adek nggak mau tinggal di rumah Papa, berarti Adek sekolah di sekolah yang baru, tapi nggak sama Abang."

"Kenapa nggak begini aja sih, Bang?"

"Nggak bisa, Dek. Abang nggak bisa antar jemput setiap hari."

"Kalau Adek nginap di sekolah nggak sama Abang, kapan Abang ke Adek?"

"Seminggu sekali. Kalau Abang libur sekolah."

Trisha langsung merajuk. "Seminggu itu lama, Bang."

"Adek pilih. Nginap di sekolah apa nginap di rumah Papa. Dua-duanya Abang cuma bisa tengokin Adek seminggu sekali aja."

"Adek sekolah di mana aja, asal sama Abang. Nggak sekolah juga nggak apa-apa."

"Kalau Adek nggak sekolah, Bang Ian marah. Nggak boleh tinggal di sini. Ini juga Bang Ian yang suruh Adek nginap di sekolah."

"Ya kalau Adek tinggal di sekolah kan namanya nggak tinggal di sini."

"Kalau libur Adek bisa ke sini."

Diam.

"Adek takut, Bang."

"Takut apa?"

"Nginap di sekolah, nggak ada Abang, nggak ada Ibu, nggak ada Teh Non. Adek sama siapa?"

"Kan tadi Abang sudah bilang, guru-gurunya di sana banyak. Teman Adek juga banyak. Adek bisa seharian main sama teman-teman. Kan nginap bareng. Belajar juga bareng. Ada yang ajarin biar pun nggak di kelas. Di sana Adek nggak akan kesepian. Di sana nggak ada yang teriak-teriak."

"Kayak di sini ya, Bang?"

"Iya. Cuma pindah tempat aja dan Abang nggak bisa selalu ada. Sama aja kan? Di sini juga Abang jarang temenin Adek. Adek sudah punya teman sendiri."

"Iya sih." Trisha berpikir ulang. "Kalau Adek bosan di sana?"

"Tungguin aja libur, Abang jemput lalu kita ke sini."

***

Satu urusan selesai. Masih banyak urusan yang lain. Mencari sekolah dan memberitahu orangtuanya bahwa Trisha pindah sekolah. Urusan yang terakhir yang terberat.

***

Hari itu Tristan mengantar Trisha ke rumahnya. Tidak ada satu pun orangtuanya di rumah. Dia memutuskan menunggu siapa pun yang lebih dulu dia jumpai. Dia sudah menemukan sekolah berasrama yang cocok untuk Trisha dan sesuai dengan standar hidup orangtuanya. Dia menarik napas lelah. Darah lebih kental dari air. Bahkan hanya urusan sekolah pun dia tidak bisa lepas dari orangtuanya.

Menjelang tengah malam baru mamanya pulang. Tak mau menunggu lebih lama, dia langsung menghadang ibunya di ruang tengah.

"Trisha mau saya pindahkan ke boarding school. Tanda tangan di sini. Ini brosurnya kalau Mama merasa harus tau sekolah apa yang saya pilih buat Trisha," ujarnya datar dan lancar seperti menghafal teks.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang