SEMUA terdiam.
Senja semakin jelas mengantar malam. Sisa-sisa matahari terhalang gedung tinggi. Hanya suara adzan yang menjelaskan siang sudah pergi.
"Bu, saya titip keluarga saya sebentar. Saya mau sholat dulu," pamitnya dengan sedikit mengangguk. Dia mengambil tangan Bu Darmi untuk disalimi, mengecup puncak kepala Trisha, dan meremas bahu Non sebagai pamit.
Bu Darmi mengikuti langkah Tristan. Ketika sosok itu hilang di balik pagar, dia mengusap sudut matanya yang tiba-tiba berair. Sebuah isak tak bisa ditahan keluar dari hidungnya. Isak yang membuat ibu pemilik rumah menoleh ke arahnya.
"Saya Darmi, Bu." Bu Darmi memperkenalkan diri.
"Saya biasa dipanggil Bu Tedjo."
"Saya bukan ibu kandungnya. Saya cuma pembantu yang ngasuh dia dari baru lahir." Bu Darmi makin menunduk. "Tapi dia sudah anggap saya ibu kandungnya. Karena mamanya...."
"Tristan broken home, Bu." Non yang melanjutkan. "Papanya baru meninggal dan ninggalin warisan banyak ke dia. Tapi dia nggak mau pakai. Dia cuma mau pakai jatah jajan dia yang dia anggap sebagai gaji karena dia terpaksa ngurus perusahaan yang diwariskan juga ke dia. Dia mau nggak mau ngurus perusahaan itu cuma biar karyawannya tetap bisa kerja dan bisa digaji."
Bu Tedjo terdiam.
"Dulu saya pengamen, diangkat adek sama dosen pembimbingnya. Lalu kami dekat dan dia mau nikahin saya meski strata sosial kami jauh banget."
"Kenapa dia nggak mau tinggal di rumah warisannya? Trisha juga nggak mau."
"Mereka trauma, Bu. Orangtuanya selalu ribut. Awalnya kami cuma mau cari kos aja. Tapi Trisha nggak bisa juga tinggal di rumah itu, jadi kami cari rumah yang ada dua kamar. Ternyata susah juga ya. Adanya petakan. Ada sih, tapi baru lihat rumahnya juga kamu sudah malas nanya. Pasti over budget. Padahal Tristan maunya biaya kuliah saya dan sekolah Trisha dari gajinya itu juga."
Bu Tedjo menarik napas panjang.
"Saya nggak mau jual rumah ini. Ini rumah kenangan. Tapi kalau saya pergi, siapa yang tinggalin? Sudah lama saya mau ke anak saya, tapi saya berat ninggalin rumah ini. Setahun ini saya cari yang mau ngontrak, tapi ya itu, saya mau tinggalin sama isi-isinya. Mereka nggak mau karena punya barang sendiri. Saya juga rasanya gimana ya? Namanya ngontrak takut mereka nggak benar ngerawatnya."
"Iya, Bu. Biasa memang orang ngontrak seperti itu. Merasa bukan punyanya, ngasal aja pakainya. Padahal kan mereka yang pakai, mereka yang tempatin. Kalau dirawat apik kan mereka juga yang enak." Non menanggapi curhatan Bu Tedjo.
"Apa kalian bisa rawat rumah saya?" Pertanyaan itu membuat Non dan Bu Darmi saling menatap. "Saya lihat kalian orang-orang baik. Sholatnya benar ya? Dengar adzan langsung ke masjid."
"Saya sudah 25 tahun ngurus Tristan. Terserah Ibu percaya apa nggak."
"Saya ngurus adek-adek angkat saya di Bogor. Sekarang karena kuliah, saya cuma bisa ke sana kalau libur aja. Di sana ada halaman dan kebun. Saya biasa urus anak, rumah, tanaman."
"Trisha janji nggak nakal. Nggak coret-coret dinding. Kalau mandi nggak main air...." Berpikir. "Nggak minta Sondesip dari Bang Dadang."
Bu Tedjo tersenyum.
"Kalau kalian jadi tinggal di sini, boleh saya minta dikirimin video rumah ini? Biar saya yakin kalian beneran ngerawat rumah ini baik-baik."
"Tunggu Tristan ya, Bu. Biar dia yang nentuin. Dia itu..."
"Kenapa?" Bu Tedjo tak sabar menunggu Non menggantung kalimat.
"Banyak masalah yang bikin dia egonya gampang kesentuh. Dia malu bahkan nggak mau terima bantuan. Seperti nginjak harga diri dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...