109, Mengurai Satu Per Satu

191 44 20
                                    

"GIMANA?" tanya Fabian lagi.

Tristan kembali mendesah lemah dan lelah.

"Selama ini... Non tekan semuanya karena gue kacau banget." Napasnya menderu. "Dua kali dilecehkan dalam waktu berdekatan plus dia ngelihat langsung gue ambruk, ternyata ngebekas banget."

Fabian mendelik sempurna. "Gue pikir dia cuma nggak mau lepas lu sendirian aja karena lu belum sembuh total."

"Nggak, Bang." Mendongak dan memejamkan mata rapat, semua kembali jelas meski matanya tertutup rapat.

"Tapi memang wajar Non trauma seperti itu. Cuma ya, sampai dia tekan semua, itu malah bikin dia makin tersiksa."

"Gue juga yang salah. Dulu paksa dia kuliah pas gue masih di rumah sakit. Sumpah, selama gue dirawat gue lihat dia baik-baik aja. Dan gue terlalu egois, nggak mikir kondisi psikis Non sejauh itu."

"Kalian lagi diuji, Dek. Bukannya egois, cuma ujiannya terlalu tumpeng tindih jadi berasa susah diurai satu per satu."

"Iya, Bang. Benar." Tristan menarik napas panjang. "Kami kacau. Nggak tau siapa temani siapa."

"Lalu?"

"Kami cuma jalanin aja."

"Tapi kalian baik-baik aja kan?"

Tristan menggeleng. "Binggung jawabnya gimana. Apa ya? Terlalu banyak kekhawatiran. Kami khawatir satu sama lain tapi nggak bisa ngapa-ngapain karena..." Tristan mencari kata sambil mengedikkan bahu. "... kami nggak tahu harus ngapain."

Diam.

Sepi.

Di seberang sana Fabian mengentakkan punggung ke sandaran kursi sambil menarik keras rambutnya.

"Lalu sekarang gue diserahi tanggung jawab baru yang lebih besar sementara yang sekarang aja gue keteteran banget. Jujur, ini sudah kena mental. Mental gue nggak sanggup. Gue nggak sanggup bayangin ribuan orang perutnya bergantung dari keputusan gue. Gue drop banget. Semalam gue muntah-muntah dan ngaruh ke luka yang di dalam. Gue takut, tapi gue nggak bisa ngomong ke Non karena dia sudah panik banget. Gue nggak bisa keluarin apa yang gue rasa demi Non nggak makin kacau."

"Tristan... satu-satu ya. Yang kantor, serahin ke Ari. Biar jelas kondisi perusahaan itu gimana biar kita bisa ambil keputusan. Kita, Trist. Nggak cuma lu."

"Makasih, Bang. Sumpah, gue nggak bisa pegang semuanya. Gue kacau banget."

Fabian tersenyum, miris. "Jangan simpan sendiri ya. Keluarin aja. Banyak yang siap jadi tong sampah lu."

"Apa lagi sih yang gue sembunyiin? Apa pun yang kalian tanya, gue jawab."

"Itu sudah sangat ngebantu penyembuhan lu kok."

"Tapi ya itu, yang terberat adalah kami sama-sama kesulitan curhat karena sama-sama harus jaga mental yang lain."

"Sekarang Non di mana?"

"Kampus. Dan gue harus jemput dia lagi pakai taksi karena dia larang gue nyetir jadi mobil gue tinggal di kampus."

"Dia mau dijemput yang lain nggak?"

"Nggak pernah nanya. Tapi siapa? Non nggak mau kalau dia nggak kenal orangnya."

Iya, siapa? Fabian berpikir.

"Gue berharap gue bisa membelah diri biar bisa kerjain semuanya. Ya kerja, ya ngurus Non, dan sekarang ngurus kantor. Sekarang? Jangankan kerjain itu semua, ngurus diri sendiri aja gue nggak bisa. Nggak fisik nggak psikis sama aja. Semua bikin gue dan Non makin kacau."

Tatapan empati Fabian tidak serta merta membuatnya tenang. Fabian dengan tangan terkepal yang menutup bibirnya menatap Tristan sangat serius.

Siang itu, semua terasa beku. Denyut nadi yang melemah seakan menjadi penanda lemahnya daya hidup lelaki muda itu. Lelaki dengan perjalanan hidup yang berbadai. Dia tidak lagi berusaha menantang angin ketika hanya mengikuti gerak arah angin pun dia sudah kehabisan napas. Dia seperti daun kering yang jatuh dari ranting lapuk meranggas tak berguna berderak terlindas jejak-jejak kehidupan. Entah kehidupan seperti apa yang menunggunya di depan masa. Dia bahkan sudah tidak berani lagi membayangkan itu. Semua terasa gelap. Melemah, daun kering ini terinjak guliuran roda waktu dan hancur.

***

Hari sudah menjadi malam ketika akhirnya Tristan menjemput Non. Gurat kelelahan di wajahnya makin terlihat ketika melihat senyum Tristan yang sekacau itu tetap terpaksa menjemputnya. Tristan mungkin sudah lebih baik, tapi dia sangat menjaga gerakannya. Dan semuanya terlihat jelas di mata Non. Yang dia inginkan sekarang hanya segera sampai ke rumah siapa pun, ke tempat apa pun di mana mereka hanya berdua dan dia bisa menangis di dada Tristan. Tapi... itu akan membuat Tristan makin terbebani.

Ah....

Dia ingin pergi dari semua ini. Namun ke mana? Saat hatinya sudah terpaut pada lelaki itu.

Di rumah Bunda, Tristan menemani Non makan malam dan mengerjakan tugas kuliahnya. Sampai Non merasa sudah terlalu lama Tristan duduk bersandar di kepala ranjang, dia menyudahi pekerjaannya meski belum selesai.

"Sudah selesai?" tanya Tristan ketika melihat Non menutup buku.

"Besok aja lanjut lagi. Masih minggu depan kok dikumpulinnya." Dia sudah berdiri, berjalan beberapa langkah, lalu duduk menyamping di tepi ranjang.

"Besok ada tugas yang lain lagi kan." Tristan mengingatkan.

Tersenyum, dia membantu Tristan merebahkan diri.

"Aku belum ngantuk kok, Non. Kamu lanjutin aja tugasnya. Kecuali kamu yang capek. Kamu kan dari pagi kuliah. Aku seharian cuma leyeh-leyeh aja."

"Kamu ngapain sih nemenin aku kayak gitu. Mending istirahat aja kan."

"Aku suka lihat kamu kalau lagi sibuk. Entah sibuk kerja atau sibuk mikir. Kamu kayaknya hidup banget. Nggak kayak sekarang nih. Mellow lagi."

"Aku mikirin kamu, Trist. Kuliah kamu aja belum kepegang lalu sekarang ditambah urusan kantor, padahal kamu belum bisa kerja kayak biasa." Lagi-lagi tangannya meraba perut Tristan. Tangannya menyelusup masuk ke balik kaus rumah Tristan, menyentuh langsung bekas luka di sana. Membelai, berharap, berdoa semoga luka itu segera pulih total.

"Sini, Non. Peluk aku." Dia menarik tangan di perutnya. Tak ingin Non terlalu mengkhawatirkan dirinya.

Tanpa diminta dua kali, Non langsung merebahkan diri, meletakkan kepalanya di ketiak lelakinya. Ini kenyamanan yang dia rindukan setelah seharian lelah berpikir dan lelah batin menekan khawatir dan takut. Kenyamanan yang nyaris pergi jika—

"Non, jangan mikir aneh-aneh. Badan kamu langsung berasa kaku."

"Kapan aku bisa kayak dulu ya, Trist? Biar nggak usah diantar jemput kamu lagi."

"Perut aku aja masih belum sembuh total, Non. Apalagi sakit mental kayak kamu sekarang. Sabar ya. Pelan-pelan aja."

"Aku merasa semua orang yang nggak aku kenal itu jahat dan mau ngejahatin aku."

"Iya, pelan-pelan. Nanti kalau ada waktu kita jalan-jalan ke tempat umum biar kamu terbiasa lagi sama keramaian dan orang yang nggak kamu kenal."

"Kamunya aja sakit gini." Menggerutu merajuk.

"Ya kan nanti sembuh."

"Kamu masih pusing mikirin kantor?"

"Masih sih, tapi tadi sama Bang Ian disuruh ke sana bareng Ari biar Ari yang ngecek semuanya. Lumayan bikin perasaan entengan."

Non langsung mendongak dan menatap langsung wajah di sampingnya.

"Aku nggak peduli gimana caranya Bang Ari bantuin kamu. Cuma dengar kamu bilang entengan aja sudah bikin aku entengan juga."

Tristan tersenyum dan mengecup dahi Non. "Aku belum nelepon Ari bikin janji minta ditemenin. Tapi bener deh. Kalau aku sendirian ke sana ya nggak ngerti apa-apa, yang ada malah kayak orang dongok plangak plongok. Kita kan nggak tau mereka orang seperti apa. Mungkin mereka loyal ke Papa, tapi ke aku kan belum tentu. Itu yang bikin kemarin aku pusing banget. Mumet sampai nggak mikir minta temenin siapa gitu."

"Karena kamu tuh berusaha banget nggak minta bantuan orang." Mereka masih saling memandang. "Minta bantuan nggak apa-apa kok, nggak hina."

"Aku sudah keseringan ngerepotin orang, Non. Nggak enak."

"Kasih micin yang banyak biar enak."

Tristan mencubit hidung istrinya.

"Tidur deh. Sudah malam."

Kembali, Non merengsek masuk ke pelukan lelakinya.

"Nite, Tristan."

"Nite, Non."

***

Bersambung

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang