TAK ingin memaksa, Non membiarkan Tristan melamun. Meski akhirnya mereka berakhir di sofa dengan Tristan meletakkan kepalanya di pangkuan Non tapi lelap itu tetap tidak datang menjemput. Matanya tetap terbuka meski lelah sudah menyapa. Ini adalah hal paling menyakitkan dari insomnia. Non tidak lagi berusaha meninabobokan Tristan. Dia hanya menemani saja. Terkantuk-kantuk tapi tangannya terus mengelus rambut dan menggaruk kulit kepala Tristan.
"Non...."
"Ya?"
"Kamu cukup nggak sendirian aja kan?" Tristan mengambil sebelah tangan Non untuk dia genggam.
"Kenapa?"
"Aku nggak mau nambahin beban kamu lagi."
Menunduk, Non mengecup pelipis Tristan. "Apa pun itu, seberat apa pun, akan lebih mudah dihadapi karena sekarang kita berdua. Kehadiran kamu memang menambah beban, tapi aku kan juga nambahin beban kamu. Tapi nggak selamanya satu tambah satu jadi dua. Dua manusia, dua kehidupan, dengan masalah masing-masing lalu bersatu, nggak berarti masalahnya jadi dobel. Malah mungkin terasa lebih ringan karena ada dua bahu untuk memikul. Mungkin akan lebih berat tapi ada dua kepala untuk berpikir. And above these all, ada yang menemani menjalani semuanya."
"Temani aku."
"Selalu, Tristan... selalu. Sampai pernikahan ini berakhir."
Seandainya bisa, dia ingin mengatakan itu dengan cara lain. Kata-kata tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan apa yang dia rasa. Kata-kata terlalu terbatas. Namun saat ini yang bisa dia lakukan hanya berkata-kata. Dia ingin memuja lelaki itu, memberikan apa pun untuk menjelaskan isi hatinya, tapi hanya ini yang bisa dia lakukan.
"Aku nggak mau berakhir."
Sesak. Mereka sudah pernah mengalami itu. Bahkan sekuat apa pun mereka bertahan, jika malaikat maut menjemput, siapa yang bisa menghalangi perpisahan itu?
Perpisahan itu tetap akan ada. Namun saat ini mereka ingin mengabaikan itu, melupakan mimpi buruk itu di belakang waktu. Saat ini mereka hanya ingin bersama.
Saat ini, kebersamaan mereka yang menjadi kekuatannya. Mengingat kisah hidup Non pun bisa membuatnya lebih mudah bersyukur. Mengingat perjalanan hidupnya, pertemuan mereka adalah anugrah Langit untuknya. Mengingat bagaimana mereka menjalai beberapa bulan ini bersama, semua terasa terangkai indah meski jalannya begitu berbatu tapi tetap berada di jalurnya.
Mengingat itu semua, tangannya makin erat menggenggam, lengannya makin erat memeluk. Dia akan melepas yang tidak bisa dia genggam, tapi yang ini, yang dia genggam, yang bisa dia genggam erat, tidak akan dia lepas. Tangan-tangan mereka begitu menyatu bertemu tanpa celah.
***
Lepas subuh mereka turun menjumpai Ibu yang sudah sibuk di dapur dibantu seorang asisten. Non langsung bergabung membantu.
"Ibu bikin apa?" tanya Tristan.
"Nasi kuning."
"Kenapa harus kuning sih, Bu?" Tristan menarik sebuah kursi lalu duduk di sana.
"Iya, besok Ibu bikinin nasi hijau. Santannya Ibu kasih pandan. Nggak usah protes mulu."
"Kayak kue srikaya dong."
"Lha ya makanya, sudah jodohnya nasi dengan kunyit, telur dengan pandan. Mak comblangnya santan."
Non terkikik.
Saat itulah Bu Darmi baru menoleh ke arah anaknya. "Kalian tuh tidur nggak sih?" Dia melihat bergantian wajah anak-anaknya.
"Ibu kepo aja deh. Namanya juga anak muda."
Non langsung memukul lengan Tristan. Namun Bu Darmi mengabaikan itu, dia tetap serius menekuri wajah keduanya.
"Ibu pernah muda, nggak begini model yang begadang buat senang-senang."
Keduanya terdiam.
"Ada apa lagi?"
"Abang nggak bisa tinggal di sini, Bu." Tristan menunduk, Non langsung berdiri di belakangnya, meremas lembut bahu lelakinya. Bu Darmi hanya bisa menarik napas panjang saja.
"Jangan dipaksa, Bang." Dia duduk di sisi lain kursi Tristan. "Adek juga kayaknya nggak bisa deh."
"Trisha nanti ke asrama lagi aja."
"Coba antar ke sana lagi. Kamu ngomong baik-baik sama Trisha ya. Ibu curiga yang bikin Trisha begitu ya karena di rumah ini. Dia harus ganti suasana."
"Kenapa Ibu nggak bilang? Kirain nggak ada Papa Mama Trisha sudah enakan di sini."
"Ya Abang lagi riweuh gini kan. Kalau langsung diomongin apa nggak malah tambah bikin riweuh? Selama Ibu bisa pegang Adek ya Ibu pegang aja. Cuma baiknya jangan kelamaan Adek kayak gitu terus."
"Iya, Bu. Jangan sampai kayak abangnya."
"Jadi gimana?"
"Trisha nanti Abang ajak ngomong untuk ke asrama lagi. Sekalian Abang ke sekolahnya biar ketemu wali kelas dan pendamping kamarnya. Mereka harus tau banget kondisi Trisha gimana. Nanti Abang ke rumah yang rencananya Papa mau pakai sama calon istrinya. Kalau bisa kita pakai ya kita pakai itu aja."
Saat itulah perhatian semuanya teralihkan pada sosok gadis kecil yang berjalan menyeret selimut. Gadis kecil dengan rambut berantakan dan wajah kusut. Gadis itu langsung memanjat ke pangkuan Tristan.
"Dek, Abang belum boleh digelayutin." Bu Darmi mengingatkan. Dia sangat tidak percaya Tristan akan melarang adikmya.
"Adek cuma duduk aja kok."
"Biarin aja, Bu. Nggak apa-apa kalau cuma pangku begini." Tersenyum, dia mengelus punggung Trisha. Pemandangan yang membuat hati siapa pun meleleh terlebih Non dan Bu Darmi yang sangat mengerti suasana batin Tristan saat ini. Seberat apa pun yang dia rasa, tidak pernah dia tampakkan susahnya pada adiknya.
"Nanti kita jadi main kan, Bang?"
"Adek mau main apa?"
"Apa aja. Asal sama Abang."
"Adek mau ikut Abang lihat rumah baru?"
"Boleh. Ke mana aja deh, Bang. Adek ikut."
***
Mobil yang mereka kendarai sudah berhenti di sebuah gerbang tinggi. Seorang petugas keamanan datang menjumpai mereka. Tristan membuka jendela dan petugas itu memberi hormat.
"Cari siapa, Mas?" tanyanya sopan.
"Saya Batara Tristan Subrata."
Tristan memperkenalkan dirinya dengan nama lengkap. Nama yang membuat petugas itu terkesiap. Tergesa dia kembali ke pos melaporkan pada temannya yang lain lalu bergegas membuka gerbang. Sebuah pemandangan yang tidak membuat Tristan terpana. Sudah muak dengan ulah ayahnya. Rumah ini selevel dengan rumahnya. Namun lokasinya di tengah kota Jakarta, bertetangga dengan pejabat dan pengusaha besar lain, itu yang membuat rumah ini lebih bernilai. Bernilai? It's all about price, not value.
Dia memarkirkan mobil lalu mereka semua turun dari mobil. Namun entah kenapa, Trisha langsung menempel erat di tungkai abangnya. Dan gadis kecil itu semakin mengeratkan pelukannya ketika seorang wanita sangat cantik dan anggun berjalan ke arah meraka dengan tatapan tajam. Dia berhenti di ujung undakan.
"Siapa kamu?" tanyanya dengan tone datar dengan dagu sedikit terangkat ke atas. Tentu dia sudah menerima kabar dari petugas keamanan di depan.
"Batara Tristan Subrata." Dia pun melakukan hal yang sama. Berdiri tegak beberapa meter di depan undakan terbawah.
"Ada urusan apa kamu ke sini?"
"Menurut surat yang saya terima dari Setiabudi Law and Firm, rumah ini milik saya."
Dia tertawa sinis.
"Saya pemilik rumah ini."
"Tunjukkan suratnya kalau begitu."
Entah mengapa aura mengusai Tristan mendadak menanjak. Dia akan mempertahankan miliknya bukan karena ingin memiliki, tapi hanya tidak mau wanita ini yang memiliki rumah ini.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...