32, Melanjutkan Hidup

137 50 16
                                    

SETELAHNYA, Tristan merasa hari-harinya berlalu lebih menyenangkan. Meski berat, tapi untuk saat ini, menyekolahkan Trisha di sekolah berasrama adalah yang terbaik. Dia bisa tenang karena Trisha berada di tempat yang aman. Aman secara fisik dan mental. Dengan ketenangan itu, dia bisa berpikir tentang masa depannya yang mendadak berombak.

Ombakkah? Atau badai?

Dia selalu berharap yang kemarin adalah badai. Perlahan, badai itu melandai menjadi ombak. Dan saat ini dia hanya sedang menikmati riaknya saja.

Semoga.

Riak-riak kehidupan yang dia jalani ditemani begitu banyak sahabat.

Seperti saat ini.

Saat dia duduk santai di balai-balai setelah membantu proses pembuatan tempe. Jika dia ada waktu, dia selalu menyempatkan diri ke rumah itu. Bertandang sambil mengerjakan apa pun yang bisa dia kerjakan. Di akhir pekan dia akan mengajak Trisha ke rumah itu setelah sebelumnya mereka absen ke rumah orangtuanya.

"Bang, enaknya gue usaha apa ya?" tanyanya sambil duduk bersila di balai-balai. Terlihat sangat serius meski yang ditanya tetap santai tersenyum dan tertawa kecil melihat ulah adik-adiknya yang lain.

"Lu bisa bedain barang ori apa kw kan?" jawab Fabian dengan pertanyaan.

"Bisa, Bang."

"Lu cari barang ori yang reject. Jual."

"Memang ada?"

Fabian tergelak.

"Maksud gue, memang ada yang jual barang begitu lalu kita bisa dijual lagi?"

"Biasa belanja di mal mah ya beda. Barang semua ori dan kualitas numero uno."

Fabian masih tergelak, membuat Tristan merengut yang disamarkan keryitan di dahi.

"Pabrik barang branded itu banyak di sini. Jadi pasti ada barang reject yang dijual. Kadang ada yang sampai merk-nya dicopot demi menjaga nama. Tapi yang ngerti barang ya tetap tau itu merk-nya apa, ori apa kw. Nah, di sini kemampuan lu ngebedain barang ori dan kw berguna."

"Gue bisa bedain tapi nggak tau reject-nya ada di mana."

"Biasanya yang reject dikasih sticker kecil kok."

"Lalu?"

"Banyak orang gila barang branded tapi kantong brodol. Nah, di sini lu harus beneran bisa jaga nama lu sebagai penjual barang ori meski reject. Sumpah, banyak yang mau. Memang nggak semua orang kejar barang begitu karena buat gaya. Biar gimana, barang bagus enak dipakai. Nah, orang kejar itu juga."

"Waktu gue nabung gila-gilaan, gue sering minta duit buat beli baju, celana, sepatu, jam tangan. Gue beli, pakai sebentar, lalu gue jual lagi. Lumayan buat nambahin isi kotak kayu. Yang paling gede cuan-nya sih jam tangan dan sepatu."

Fabian makin tergelak.

"Nah, yang beli pasti mau kan karena barang ori, masih baru, tapi harga miring."

"Iya. Cepet banget lakunya."

"Artinya lu sudah punya pangsa pasar. Lu jual barang-barang lain ke mereka. Mereka mau pakai barang bekas, paling mau juga pakai barang reject. Kalau lu pintar pilihnya, reject-nya nggak kelihatan kok." Fabian menepuk keras bahu Tristan. "Belum lagi orang sekampus. Yakin deh banyak yang mau. Macam lu aja taktiknya. Minta duit ke bonyok buat beli di mal, lalu beli di lu. Cuan banyak tuh." Dia terkekeh lepas.

"Gue cari di mana?"

"Browsing dong. Hari gini nggak usah banyak nanya. Mulut nggak usah banyak cakap. Jari lu aja yang kerja. Sepatu ada di Banten. Banyak barang gituan dari sana. Tapi banyak yang palsu juga. Dicampur. Nah, di sini keahlian lu berguna. Pastiin hanya barang ori yang lu jual. Kalaupun KW, ya lu harus jujur. Jangan pernah bilang ori padahal KW. Rusak nama, susah benerinnya."

"Yang dicampur di mana?"

"Paul. Pasar Ular."

"Di mana itu?"

Fabian terkekeh.

"Kelapa Gading sanaan lagi."

"Ooh..."

"Dasar anak mal. Dibilang Kelapa Gading langsung ngeh."

"Ck." Tristan berdecak. "Kalau gue ambil dari sana, lalu gue jual lagi, mahal dong?"

"Satu, lu minta harga reseller. Dua, lu pastiin itu ori. Kan lu tau harga aslinya berapa, kalau lu bisa dapat harga 30% lalu lu jual 50% dari harga asli kan sudah lumayan."

Tristan terdiam, berpikir.

"Lu jalanin dulu aja." Fabian menepuk lagi bahu Tristan. Menguatkan.

Fabian dan Rey tidak lama di sana. Sore mereka sudah pulang untuk bersiap pergi ke acara lain. Trisha sudah bisa akrab dengan semua teman-teman Tristan dari kampus termasuk Fabian. Dia melepas mereka dengan pelukan erat dan mengajak Tristan untuk mengantarnya ke rumah Rey seperti undangan Fabian.

Malam itu, setelah Trisha tidur, dia kembali duduk santai sambil sesekali merokok di balai-balai. Ando sejak tadi sudah pergi. Mungkin menikmati malam panjang. Sudah jam sebelas dan dia masih asyik duduk melamun di sana. Tak sadar ada sepasang mata mengintip dari tengah tangga. Hanya memastikan ada makhluk hidup di balai-balai, lalu dia naik lagi. Tak lama dia turun dengan nampan berisi dua mangkuk mi instans rebus dan dua gelas besar teh panas.

Mencium harum masakan, Tristan langsung mencari sumber bau. Melihat Non datang dengan tangan berisi barang enak, seringai lebar langsung tercetak di wajahnya.

"Nggak ada orang lain di sini." Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. "Tu barang enak, satu buat gue kan?"

Non terkekeh.

"Tau aja gue ngelamun nungguin rezeki datang." Dia langsung mengaduk jatahnya. "Tau dari mana gue masih hidup?" Dia sudah mulai menyuap.

"Gue lapar, pengin nge-mi, lalu kecium bau rokok." Non melirik sinis, Tristan terkekeh.

"Sorry, gue lupa." Tristan langsung mematikan rokok.

"Yakin lupa?"

"Lupa sekali, pas ingat dibablasin." Dia mengedikkan bahu. "Nanggung. Nggak ada yang sadar juga."

"Gue sadar."

"Besok-besok malah gue sengaja masukin asap ke atas biar lu bangun lalu bikinin mi."

Non langsung mendelik sempurna. Membuat Tristan terbahak.

"Kuranginlah rokoknya," saran Non sambil menghela napas. "Bang Ian aja bisa tuh berhenti total."

"Iya. Dia ganti ngisap sekujur badan Rey." Tristan terkekeh mengesalkan di mata Non. Melihat Non mencebik, Tristan menghentikan kekehnya. "Gue sudah kurangin banget kok. Gue dalam mode penghematan ketat. Tinggal sekali-kali aja kalau lagi mumet atau cari ilham."

"Sekarang lagi mumet apa cari ilham?"

"Dua-duanya." Dia menyeruput teh panas sengaja dengan bunyi yang heboh. "Tadi Bang Ian suruh gue cari barang ori yang reject untuk dijual."

"Lalu?"

"Ya gue mikir lah. Memang sih Bang Ian sudah ajarin gimana-gimananya, tapi tetap aja ada yang harus dipikir kan."

"Salah satunya?"

"Gue mau jadiin akun-akun sosmed gue untuk jualan."

"Good."

"Apa gue bikin akun khusus ya?"

"Kenapa harus bikin baru? Yang lama kan sudah banyak temannya. Lu malu?"

"Ck." Tristan berdecak sambil meletakkan mangkuk kosong.

"Lalu?"

"Ya biar khusus aja."

"Terserah lu lah." Non mengedikkan bahu. "Lu sekarang beneran nggak pakai uang bokap lu lagi?"

"Nggak." Cepat dan tegas. "Gue buka rekening baru."

"Bokap lu tau dari mana kalau lu sudah nggak ambil uang dia lagi? Apa susahnya dia mikir, lu balikin ATM lalu lu bikin lagi ATM baru. atau pakai mobile banking. Kan rekening atas nama lu."

"Bodo amat." Tristan mendengus malas menjelaskan. "Yang penting gue nggak mau pakai lagi fasilitas dari dia. Terserah dia sadar apa nggak."

***

Bersambung

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang