27, Sebuah Tanda Tangan

142 51 20
                                    

TEMAN-temannya bertahan selama mungkin di rumah itu untuk menemani Tristan dan menghibur Trisha. Usaha yang berhasil melihat Tristan yang tidak melulu melamun dan Trisha yang sudah bisa tertawa. Suhu tubuhnya sudah normal meski dia masih lemah dan pucat. Lepas makan malam mereka berpamit. Fabian menyempatkan diri berbicara lagi dengan Tristan.

"Trist, kalau lu butuh motor, pakai aja motor gue."

"Nggak lah, Bang. Makasih." Sungguh, dia tidak enak hati jika terlalu diberi fasilitas. Rumah ini sudah sangat cukup untuknya.

"Gue nggak pernah pakai lagi. Cuma dipanasin doang. Malah rusak." Fabian masih berusaha.

"Ajak Rey lah motoran. Dia suka kok naik motor."

"Sebentar lagi kan gue ke Paris. Mobil gue dan Rey juga nganggur. Lu urus lah. Pakai sesekali." Fabian mengalihkan cara. "Gue lihat lu bisa ngurus-ngurus mesin."

"Ya suka juga sih."

"Nah, pakai deh. Ando nggak bisa diandelin kalau urusan gituan."

"Ya sudah, nanti sesekali dipakai."

Fabian tersenyum.

"Lu masih mau pindahin Trisha?"

"Apa ada pilihan lain?"

"Kalau lu masih mau ngomong sama orangtua lu, jangan pas ada Trisha."

"Kayaknya sih begitu. Gue harus ke sana sendirian."

"Kapan mau ke sana?"

"Kalau Trisha sudah bisa ditinggal. Gue mau coba ke nyokap aja. Siapa tau lebih gampang diajak ngomong." Dia menggigit bibirnya. Ada yang dia tahan agar tidak keluar dari sana.

"Fokus, Trist. Satu-satu diberesinnya."

Dia menarik napas panjang.

***

Dua hari kemudian akhirnya Trisha mau melepasnya. Setelah memastikan keberadaan ibunya pada Bu Darmi, lepas dari kampus dia langsung ke rumah orangtuanya. Dia melihat ibunya duduk di ruang tengah dengan TV menyala tapi asyik dengan ponsel. Tak menunggu lagi, dia langsung menghampiri ibunya.

"Ma." Dia berdiri memberi jarak sekadar cukup suaranya terdengar saja.

Mendengar panggilan itu, yang dipanggil mendongak dan mendapati sulungnya berdiri kaku.

"Apa Mama sudah tanda tangan?" tanya langsung.

"Kamu bawa ke mana Trisha? Kamu kalau mau kabur ya kabur aja. Tapi jangan ajak-ajak anak kecil. Trisha nggak tau apa-apa."

"Bukan saya yang bawa Trisha pergi. Tapi Trisha yang bawa saya pergi."

"Apa?"

"Saya nggak masalah tinggal di mana pun. Di sini pun nggak masalah. Saya sudah kebal, sudah bisa mengerti. Tapi Trisha nggak tau apa-apa, dia nggak ngerti jadi dia nggak bisa di sini. Saya terpaksa ikut ke mana Trisha pergi."

"Maksud kamu apa?"

"Saya akan bertahan di sini kalau Trisha sanggup bertahan. Tapi ternyata nggak bisa. Saya carikan Trisha tempat lain. Sekolah asrama. Makanya saya minta tanda tangan Mama."

"Apa kalau Trisha di asrama kamu akan tinggal di sini?"

Tristan mendengus. "Tadi kata Mama saya kalau mau pergi ya pergi aja."

"Lalu?"

"Buat apa sih saya di sini?" Tristan mengedikkan bahu. "Saya bisa tinggal di mana aja. Tapi buat apa saya di sini?"

"Di mana Trisha sekarang?"

"Di rumah teman kami."

"Di mana?"

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang