76, Tempat Kejadian Perkara

162 44 62
                                    

DI tol, Dewa terus memaki. Dia yang mengendarai mobil Rey tentu kesulitan mengejar performa mobil Fabian. Tangannya bergerak ke standing ponsel di dashboard.

"As*, gue susah ngejar. Ada apa?" Dia berteriak.

"Ikutin gmap aja. Gue nggak bisa nungguin lu." Seto balas berteriak sambil melirik Tristan yang wajahnya sudah memerah kaku.

"NONAAA...." Tristan menghantam kepalanya ke dashboard dengan tangan menarik keras rambutnya.

Seto makin panik. Mobilnya oleng ketika dia berusaha menghilangkan teriakan Non dan suara-suara lelaki yang melecehkan istri sahabatnya. Dan Tristan yang meraung di samping, membuatnya makin menggila.

"Seto, b*ngs*t, ada apa? Ada berita apa?" Dewa kembali berteriak. Dia tentu mendengar teriakan menyayat hati sahabatnya. Jantungnya langsung berdentam.

"Hubungi yang lain. Stand by. Ikutin gmap aja."

"As—"

Sambungan terputus.

Dan Dewa yang makin panik mengabaikan kerusakan mesin yang mungkin timbul. Dia menyiksa mobil Rey meski jarak mereka makin menjauh. Mobil yang dia kemudikan berkali-kali oleng ketika dia berusaha menghubungi Ando.

Mendapat laporan tak jelas tapi mengarah ke mengerikan, Ando langsung menghubungi yang lain. Namun siapa di lingkaran mereka yang bisa dihubungi dan bisa bergerak cepat? Bahkan dia pun berada di seberang pulau.

***

Keluar dari jalan tol, Seto masih berusaha berkecepatan tinggi. Tengah malam, jalanan memang cukup kondusif tapi tetap saja berkendara seperti itu membuat mereka beberapa kali menerima makian dari pengguna jalan yang lain. Memasuki jalan kampung, kecepatan mereka menurun. Seto menghubungi Dewa sambil mematikan lampu mobil. Mereka semakin dikurung gelap.

"TKP satu kilo di depan," lapornya.

"Gue masih ngejar lu, B*ngs*t." Dewa sungguh terengah berkendara seperti orang gila.

"Cepetan. Gue butuh back up. Gue nggak bisa ngarep si Tristan."

Lagi-lagi Dewa tersentak.

Dua ratus meter dari tujuan, mereka sudah mencari tempat parkir. Ada tanah kosong di tepi jalan yang dipenuhi ilalang. Sepertinya tersambung dengan tempat Non. Seto langsung memarkirkan mobil ke arah luar, tapi Tristan langsung meloncat turun sebelum mobil rapi terparkir.

"Trist, sabar, Trist." Seto makin bergegas. Dia menarik tangan Tristan. "Tunggu dulu. Gue harus share loc tempat mobil ke Dewa." Itu hanya alasan menahan Tristan saja. Hanya butuh lima detik melakukan itu.

"Trist, jangan gegabah, lu harus tenang." Seto berusaha mengecilkan volume suara. Mereka berada di kandang musuh, dan tak tahu musuh ada di mana.

"As*! Gimana gue bisa tenang! Istri gue di dalam mau digarap!" Mendesis, Tristan pun berusaha berbisik saja.

"Gue ngerti banget, B*ngs*t. Tapi lu bunuh diri kalau panik. Tenang dulu." Seto menepuk punggung Tristan, menguatkannya. Tristan terengah mengatur napas. Setelah Tristan terlihat lebih tenang, baru Seto mendorong bahu temannya dan mereka bergerak.

Sejak di belokan terakhir, mereka tidak menjumpai bangunan lain. Entah tempat apa ini. Bangunan yang terlihat redup di depan mereka seperti gudang tua saja. Tanpa melihat peta, mereka yakin, bangunan itu adalah tujuan mereka. Seto mengambil linggis dari tangan Tristan. Dia memaksa sampai akhirnya Tristan terpaksa mencari senjata lain. Dia menemukan balok kayu. Cukup banyak mobil terparkir di sana. Mereka makin waspada.

"Kita keliling dulu cari tanda dari Non," bisik Seto dan Tristan mengangguk. Namun sebuah jendela yang tirainya tersingkap membuat mereka mengintip ke dalam.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang